Latest Posts

Saturday, April 29, 2017

Reklamasi Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan

Rencana penambangan pasir laut Galesong, Kabupaten Takalar, akhirnya ditanggapi serius DPRD Sulsel.
Keseriusan itu dibuktikan dengan digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komis D DPRD Sulsel bersama Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) Sulsel, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Cipta Karya dan Tata Ruang Sulsel, Kordinator Pembangunan Kawasan CPI, Dinas ESDM Sulsel, Forum Informasi Komunikasi Kelompok Swadaya Masyarakat (FIK KSM) dan Forum Masyarakat Pesisir dan Nelayan Galesong Raya (Formasi Negara), di Ruang Komisi D, Kamis (20/4/17).
Direktur FIK KSM, Nurlinda Taco mengatakan, pihaknya mewakili masyarakat Galesong, dengan tegas menolak proses penambangan pasir di Galesong dan Sanrobone. Bahkan, pihaknya telah bersurat ke Dinas
PLH Sulsel, Dinas PMPTSP)Sulsel. Namun, surat penolakan tersebut tidak ditanggapi. Buktinya, proses penambangan pasir di Galesong dan Sanrobone tetap dilakukan oleh lima pihak penambang.
“Melalui Rapat Dengar Pendapat ini, kami warga Galesong menolak keras penambangan pasir tersebut,” tegasnya.
Kordinator Pembangunan Kawasan CPI, Ir. Suprapto Budi Santoso dengan tegas menyampaikan hingga saat ini belum ada satupun perusahaan yang kontrak kerjasama dengan CPI terkait penambangan Galesong. “Penimbunan yang akan kita ambil hanya di Sanrobone dan izinnya sudah lengkap,” ungkapnya.
"Kami sudah komunikasi dengan pihak investor dan disepakati bandara bakal dibangun di atas laut di Desa Ujung Baji," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Pemerintah Kabupaten Takalar Sirajuddin, Jumat, 13 Maret 2015.
Dia menuturkan reklamasi laut untuk lahan bandara ini sama seperti pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Dalam melakukan reklamasi, pemerintah menggandeng investor asing melalui PT Bumi Serpong Damai.
Sirajuddin menyebut proses reklamasi bakal dilakukan dalam waktu dekat ini. "Selain bandara, kami juga berencana membangun perumahan di kawasan itu," ucapnya.
Sejumlah syarat yang kini tengah disiapkan, ucap Nirwan, di antaranya hasil survei topografi dan penyelidikan tanah. Hal itu dibutuhkan untuk studi kelayakan dan studi rencana induk pembangunan bandara yang nantinya dilakukan.
Bupati Takalar Burhanuddin Baharuddin menuturkan pembangunan bandara ini bakal membutuhkan waktu lima-sepuluh tahun. Menurut dia, pihaknya berharap pembangunan bandara berskala internasional ini mampu mendongkrak pendapatan masyarakat sekitar. "Jika izin prinsip sudah keluar, pengerjaan lahan bandara ini akan kami mulai. Kami target bandara ini sudah bisa rampung sekitar lima-sepuluh tahun ke depan," katanya.
Pengurus FIK KSM, Akhmad kudri menambahkan, penambangan pasir tersebut terkesan dipaksakan. Ironinya tokoh dan masyarakat Galesong tidak mengetahui akan ada penambangan. “Untuk itu, kami meminta DPRD Sulsel untuk merekomendasikan penghentian proses perizinan yang sementara masih berjalan, bahkan sebaiknya izin tersebut dicabut,” tandasnya.
Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Cipta Karya dan Tata Ruang Sulsel, Ayu menjelaskan, penambangan pasir yang dilakukan di Galesong, Galesong Utara, Galesong Selatan untuk kegiatan reklamasi kawasan CPI di pantai losari. “Ini sudah sesuai aturan,” akunya.
Kepala Dinas PLH Sulsel, Andi Hasbi Nur menambahkan rancangan Amdalnya sudah selesai dan perizinan beberapa perusahaan telah masuk tahapan. Dan dalam waktu dekat akan dilakukan penambangan.
Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Sulsel, Darmawansyah Muin menuturkan, setelah mendengar pendapat dari Instansi dan pihak terkait beserta FIK KSM, Formasi Negara. Komisi D menyampaikan dengan tegas Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah (RZWP3K) masih dalam pembahasan Ranperda di DPRD Sulsel, sehingga proses perizinan penambangan Galesong akan dihentikan sementara (hold/tahan), serta peninjauan kembali perizinan di Sanrobone.
“Proses perizinan tambang pasir Galesong harus di hold/tahan hingga persoalan izin ini sesuai ketentuan yang berlaku,” 
Pemerintah Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, bakal mereklamasi sekitar 3.500 hektare laut di wilayah perairan yang terletak di Desa Ujung Baji, Kecamatan Sanrobone, Takalar. Hal itu dilakukan dalam rangka persiapan pembangunan bandara berskala internasional di Kabupaten Takalar.
Sekretaris Kabupaten Takalar Nirwan Nasrullah mengatakan pihaknya mulai melengkapi syarat administrasi pengajuan izin prinsip ke Kementerian Perhubungan. Termasuk izin peruntukan lahan (IPL) di lokasi pembangunan bandara tersebut. "Kami juga sudah melakukan ekspose dengan pihak investor," ujarnya.
Proyek reklamasi di kawasan CPI di beranda Kota Makassar akan dikerjakan oleh PT Yasmin bersama PT Ciputra yang tekenal itu. Luas laut yang akan ditimbun 151 hektare. Hasil penimbunan akan dibagi dua dengan pihak swasta dan Pemprov Sulsel. Swasta akan mendapatkan luas lahan 101 hektare dan Pemprov peroleh 50 hektare.
Ada dua yang menjadi muara reklamasi ini, berdiri Wisma Negara dan Masjid Raya Sulsel, dua ikon ini akan menjadi domain Pemprov sedang sisanya di 101 hektar akan melahirkan skenario bisnis tentu saja.
Siapa mau buang duit ke laut tanpa siasat fulus di baliknya? Menjual ruang-ruang perkantoran, kamar istirahat, ruang rekreasi dan kita, warga, rakyat, pengunjung harus mengorek isi dompet dan segala macam transaksi ‘sebagai si empunya dan si pedagang’. Maka lahirlah ambisi mengeruk pasir di dasar laut Galesong Raya dan memindahkannya demi hasrat modernitas di utara ini.  Terbetik kabar rencana pertambangan pasir seluas 1.000 hektar. Ini plot satu perusahaan, masih ada 4 yang lain.
Kebutuhan timbunan berjutakubik tanah dan pasir nampaknya tak bisa diharap dari Gowa belaka, dasar laut Takalar pun jadi incaran.
***
Sore, 3 April 2017, mendung menggelayut di atas Kampung Bayowa, Desa Galesong Kota, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Tiga orang anak menghadang angin barat yang berhembus dan melepas layang-layang. Mereka bermain di atas tanggul yang usianya tidak kurang lima tahun. Di belakangnya, gelombang laut bulan Maret memukul tanggul bertalu-talu. Di utara, beberapa warga bermain kartu.
Sekitar 10 meter dari tempat duduk mereka, bagian tanggul sepanjang 5 meter telah ambruk. Air laut tumpah hingga ke bagian dalam. Di pantai belakang rumah Daeng Tayang, tempat bermain saya di ujung tahun 70an, terlihat tanggul telah memisahkan laut dan daratan. Teringat hamparan pasir sekira 20 meter ke barat yang kini tertutup air laut.
Penggerusan yang hebat sejak tahun 70an telah mengambil sebagian besar paras pantai Bayowa, salah satu solusinya adalah dengan membangun tanggul meski ini harus menguras isi laci Pemerintah Takalar dan Pemerintah Provinsi.
Di pantai Bayowa, kini hanya ada tanggul dan batu-batu yang diikat kawat baja. Di situlah tempat kami nun lampau bermain pasir, tiada lagi. Yang pernah tinggal dan bermain di sini pasti bisa merasakan perbedaan di pantai Bayowa ini. Apa yang hilang dan bagaimana waktu mengubahnya. Apatah lagi jika hasrat mengambil pasir itu untuk membangun wilayah lain dan mengabaikan dampak yang dahsyat pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan di sekitar tambang.
Begitulah, nurani kemudian bicara ketika terbetik rencana pertambangan di laut Galesong itu. Ini sungguh mengkhawatirkan.
Bukan hanya saya tetapi juga bagi Zain Daeng Tompo, warga Kampung Bayowa yang sore itu saya temui sedang duduk santai di teras rumahnya.
Ih tenantu nacoco’,” katanya saat ditemui pada sore itu. Menurutnya itu tidak cocok. Alasannya, selama ini gelombang telah semakin kencang melanda pantai Bayowa. Meski ada tanggul yang telah dibangun namun ini tidak menyelesaikan persoalan. Apalagi telah ada bagian yang roboh seperti di belakang rumahnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Hamzah Daeng Ruppa, (30 th). Nelayan pancing (papekang) yang kerap beroperasi di sekitar Kepulauan Tanakeke, Sanrobengi hingga perairan Pulau Dayang-Dayangang ini mengaku pertambangan pasir pasti akan berdampak ke pantai Galesong terutama di Pantai Bayowa, hempasan gelombang akan semakin kuat ke pantai.
“Sekarang, perahu-perahu orang Bayowa dan Lanna’ dibawa ke muara sungai, sebagian harus diangkat ke atas batu,” katanya. Hamzah adalah nelayan yang acap beroperasi di sekitar pulau Dayang-Dayangang hingga perairan Kodingareng Lompo.
Hasyim Daeng Tasa’, pemancing lainnya mengaku bahwa saat ini khusus Bayowa dan Lanna’, ada seratusan nelayan yang beroperasi di sekitar laut Galesong hingga Takalar dan Makassar. “Mereka yang pakai perahu kecil, fiber, pemancing juku eja atau katamba,” katanya.
Nelayan-nelayan tersebut selama ini menyimpan perahu di sungai kecil yang membelah kota Galesong. Selebihnya harus diangkat dan disandarkan di tanggul dan halaman belakang rumah. Rumah-rumah di Bayowa, sebagian besar membelakangi laut.
“Penambangan pasir akan berdampak ke gelombang, pastimi,” kata Tasa’ yang lulusan SMP ini. Sebagai pemancing, Tasa’ hafal nama-nama taka’ atau rataan terumbu yang menjadi lokasi pancingnya.
“Ada Bone Mallonjo’, ada Batu Ambawa, Batu Le’leng hingga Taka Luara Kodingareng,” sebutnya. Sebagian lahan-lahan ini nampaknya akan menjadi sasaran pengerukan pasir. Seperti Hamzah, Tasa’ juga memilih beroperasi antara laut Galesong dan Pulau Dayang-Dayangang. Menurut Tasa’ selain daerah ini, nelayan-nelayan Galesong sering pula ke perairan sekitar Pulau Lanjukang dan Langkai.
Menurut Daeng Tasya’, gangguan di laut bagi nelayan Galesong bukan semata gelombang yang semakin besar tetapi parere’ atau minitrawl yang beroperasi antara perairan Makassar ke selatan hingga ke Pulau Sanrobengi. Mereka datang dari utara dan tak peduli dengan himbauan pemerintah untuk tidak menggunakan alat yang merusak ekosistem.  Nelayan Galesong terkenal sebagai pemasang jaring atau lanra’, pemasang rakkang atau perangkap rajungan, terutama di Galesong Selatan.
Sudah dengar kabar rencana penambangan pasir seluas 1.000 hektar di laut Galesong dan Galesong Selatan? Tanyaku ke Tasa’.
Kokkoro’ lampuru’mi antu,” katanya dalam bahasa Makassar, artinya, tergerus habislah itu (pantai).
Saya meninggalkan Kampung Bayowa ketika hujan mulai turun. Membayangkan peristiwa yang akan dihadapi perkampungan ini seperti kampung-kampung pesisir di wilayah lain. Silih berganti, antara menolak pertambangan pasir atau benam dan godaan para pemburu keuntungan karena mereklamasi laut, mengeruk pasir dan mengabaikan derita bagi yang lain, bagi yang terimbas dampak eksplorasi.
Pertambangan pasir pasti akan mengubah tensi dan arah gelombang. Galesong Raya yang meliputi Kecamatan Galesong Utara, Galesong dan Galesong Selatan yang selama ini telah lama dirundung abrasi pantai tentu akan terpapar dampak yang bisa jadi duakali lipat jika tambang pasir itu terjadi.
Terkait ide pertambangan pasir ini, nampaknya orang-orang harus dibuka matanya tentang gelombang yang ganas dan rumah warga yang terancam. Media TribunTakalar melaporkan pada tanggal 27 Desember 2016 lalu bahwa sedikitnya empat rumah di pesisir pantai di Dusun Kanaeng, Desa Bontokanang, Kecamatan Galesong Selatan, Takalar, terancam roboh karena abrasi.
Bukan hanya di Kanaeng, beberapa waktu lalu kawasan perkuburan di pantai Bontosunggu, Galesong Utara, telah dilahap lidah laut. Terjadi abrasi yang hebat sehingga tulang belulang manusia berserakan. Beberapa hatchery juga telah rubuh karena terjangan gelombang.
Masih banyak yang lain seperti yang terjadi di Desa Bontoloe dan sekitarnya. Hal inilah yang memunculkan kekhawatiran bahwa dimensi sosial, ekonomi dan ekologi sekitar Galesong akan terpapar aktivitas pertambangan pasir ini.
***
Isu reklamasi di Kota Makassar yang membutuhkan timbunan superbanyak tersebut sampai pula di telinga akademisi Universitas Hasanuddin. Pakar oseanografi Unhas Dr. Mahatma Lanuru mengatakan bahwa Galesong adalah daerah rawan abrasi karena pantainya tidak dilindungi pulau-pulau kecil, tidak banyak lagi mangrove, dan juga kurang landai. Jika pasir dikeruk, energi gelombang yang tiba di pantai akan semakin besar dan menyebabkan abrasi. Hal itu diungkapkannya saat menjadi pembicara pada diskusi bertajuk Marine Policy Corner, di Warkop Phinisita, Jl Hertasning Makassar, Senin (28/3/2017).
Menurut lulusan S2 dan S3 Kelautan Jerman itu, hal ini tentunya dapat membuat masyarakat di pesisir Galesong harus mengungsi jika abrasi semakin besar. Hal senada juga disampaikan oleh pakar ekologi laut Unhas, Dr Syafyudin Yusuf. Dia mengatakan bahwa kehadiran tambang pasir mengancam keberlangsungan ekosistem laut, penurunan organisme, dan peningkatan kekeruhan air.
“Jika itu terjadi, dampaknya akan sangat besar. Kekeruhan air laut akan menyebabkan degradasi ikan, yang akan menyebabkan hilangnya mata pencaharian nelayan sekitar,” kata dia.
Sumber : https://denun89.wordpress.com/2017/04/04/hasrat-reklamasi-dan-tanggapan-dari-selatan/

Kota Baru

BAB I PENDAHULUAN

A.   Definisi Kota Baru dan Fungsi Kota Baru

a. Definisi Kota Baru
Istilah kota baru sama pengertiannya dengan kawasan perkotaan baru. Lokasinya berada dalam satu daerah kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan terletak dalam dua atau lebih kabupaten yang berbatasan. UU 22/1999 memungkinkan kota baru pada suatu saat berubah status menjadi daerah kota, kalau persyaratan pembentukkannya terpenuhi.

Kawasan perkotaan baru (perumahan, kawasan industri atau kawasan fungsional lainnya) yang dibangun di daerah kota tidak termasuk dalam pengertian kota baru, karena dianggap merupakan perluasan kawasan perkotaan dari daerah kota bersangkutan. Perlu ditegaskan, kawasan perumahan baru yang dibangun hanya di daerah kabupaten. Menurut pengertian yang digunakan dalam UU 22/1999 kawasan perumahan tersebut dapat disebut kawasan perkotaan kalau kegiatan utama penghuninya bukan pertanian, berapa pun luas kawasan tersebut.

Menurut Gallion 2 (1994: 242) unsur yang membedakan kota baru adalah bahwa kota itu dirancang lebih dahulu, tidak hanya pemisahan politis dari daerah perkotaan yang sudah mapan.

Kota baru yang sengaja dibangun untuk aktivitas pemerintahan, dirancang sebagai kota mandiri, dengan menyediakan aktivitas (pekerjaan) bagi penduduknya agar kota baru dapat menjadi tempat bermukim para pendatang (Alonso dalam Bourne, 1978: 536)

Menurut Sujarto (1993) bahwa sesuai dengan fungsi dan tujuan kota baru sangat bervariasi dari segi lokasi, jenis, serta pola fisiknya. Namun secara fungsional kota baru dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1.    Kota Penunjang
Kota Penunjang yaitu kota baru yang direncanakan dan dikembangkan dalam kaitan dengan kota yang telah tumbuh dan berkembang. Jenis kota baru demikian membantu memecahkan masalah kota yang sudah ada, misalnya untuk memecahkan masalah keruangan perumahan atau dalam perluasan kota. Kota baru inidapat dikatakan sebagai supporting new town atau kota baru penunjang, karena berperan sebagai penunjang eksistensi kota yang sudah ada serta telah berkembang.
Secara ekonomi dan sosial fungsinya mempunyai ketergantungan pada kota induk. Secara geografis kota baru penunjang dibangun pada wilayah tertentu yang jaraknya berdekatan dengan kota induk. Secara fisik kota baru penunjang terpisah oleh wilayah tak terbangun. Kota-kota baru penunjang ini :
1.    Permukiman skala besar di pinggiran/di luar kota induk (dormitory town) yang disebut kota satelit (satelit town)
2.    Kota kecil di sekitar kota induk yang ditingkatkan dan dikembangkan.

2.  Kota Mandiri
Kota Mandiri yaitu kota yang direncanakan dan dikembangkan tersendiri, meski fungsinya sama dengan kota-kota yang telah tumbuh dan berkembang, tetapi kota-kota ini dikembangkan dengan fungsi khusus berkaitan dengan potensi tertentu. Kota baru demikian dapat dikatakan sebagai independent town atau self sufficient new town atau kota mandiri baru. Secara ekonomi dan sosial dapat memenuhi kebutuhan sendiri paling tidak sebagian besar penduduknya. Secara geografis, kota baru mandiri di wilayah tersendiri yang berjarak cukup jauh dari kota yang sudah ada. Secara fisik, terpisah oleh wilayah bukan permukiman seperti pertanian, hutan, jalur hijau atau wilayah non urban lainnya.
Kota Mandiri Antara Lain ( Gollany, 1976 ) :
·         Kota Pusat Pemerintahan
·         Kota Industri atau Pertambangan
·         Kota Usaha kehutanan
·         Kota Instalasi militer
·         Kota Pusat rekreasi
·         Permukiman Skala Besar
Menurut Gallion (1994: 242) kotapraja baru bukanlah kota baru, tetapi kota-kota itu merupakan kelompok penduduk yang sudah ada, yang ingin mempunyai keinginan mempunyai wewenang pengendalian lebih besar atas urusan-urusan lokal yang telah diberikan oleh pemerintah kabupaten. Pemisahan ibukota Kabupaten dengan Kota yang lama berarti juga memindahkan wewenang ke kota yang direncanakan tersebut.

b. Fungsi Kota Baru
Kota baru dapat dibedakan berdasarkan fungsinya. Dalam hal ini, ada beberapa golongan kota baru, yaitu:
·         Kota baru yang dibangun untuk pusat kekuasaan atau pemerintahan kerajaan baru, negara baru, provinsi baru atau kabupaten baru.
Contohnya, pembangunan kota baru Palangkaraya sebagai ibukota provinsi baru Kalimantan Tengah pada 1950-an;
·         Kota baru yang dibangun dalam rangka pemindahan pusat kekuasaan atau pusat pemerintahan kerajaan, negara, provinsi atau kabupaten.
Contohnya,
-          pembangunan kota baru Pekanbaru dalam rangka pemindahan Ibukota Provinsi Riau dari Tanjung Pinang karena alasan politik untuk mengurangi pengaruh Singapura dan Malaysia (saat itu mata uang yang digunakan di Tanjung Pinang adalah mata uang yang berlaku di Singapura dan harga-harga dinyatakan dalam mata uang tersebut);
-          pembangunan Kota Janto sebagai ibukota baru Kabupaten Aceh Besar yang semula berada di Kotamadya Banda Aceh;
-          pemindahan ibukota Kabupaten Bogor dari Kotamadya Bogor ke Cibinong;
·         Kota baru yang dibangun untuk menunjang kegiatan pemanfaatan sumber daya alam.
Contohnya,
-          pembangunan kota Bontang untuk mendukung industri pengolahan gas alam di Kalimantan Timur
-          pembangunan kota Timika untuk mendukung usaha pertambangan di Irian Jaya (Papua);
·         Kota baru yang dibangun untuk menunjang kegiatan pendidikan tinggi.
Contohnya, Jatinangor yang dibangun di sebelah timur Bandung. Perguruan tinggi di kota baru ini merupakan perluasan atau pindahan dari perguruan tinggi yang sudah ada di Bandung maupun perguruan tinggi baru;
·         Kota baru yang dibangun untuk mengatasi masalah di kota-kota besar dan metropolitan, seperti masalah lalu lintas, perumahan kumuh, pencemaran lingkungan dan pedagang kaki lima. Kota baru golongan ini dibangun di sekitar kota besar atau metropolitan yang menjadi kota induknya.
Di dunia, pembangunan kota baru golongan ini dipelopori Inggris yang membangun kota baru di sekitar kota London awal abad 19. Kota baru golongan ini dibangun untuk menampung kegiatan baru yang sulit ditampung di kota induknya. Juga, kegiatan yang harus dipindah ke luar kota induknya, karena tidak sesuai keadaan yang terus berkembang. Keadaan kota baru diusahakan lebih baik dari kota induknya agar orang tertarik tinggal dan bekerja di kota baru. Keberhasilan pembangunan kota baru di Inggris ditiru di berbagai negara Eropa dan Amerika. Juga ditiru di berbagai negara di belahan bumi lainnya, termasuk Indonesia.

Kota baru ada yang hanya mempunyai satu fungsi utama, seperti kota untuk tempat tinggal, industri dan pendidikan. Fungsi lainnya hanya merupakan penunjang agar fungsi utama berjalan baik. Ada pula kota baru yang mempunyai beberapa fungsi yang sulit dibedakan mana yang utama dan mana penunjang.
·         Contoh kota baru yang ditujukan untuk menyediakan pembangunan industri adalah Lippo Cikarang di sebelah timur Jakarta dekat kota Cikarang lama. Di kota baru tersebut dibangun pula perumahan bagi karyawan indutri di Lippo Cikarang maupun bagi yang bekerja di luar Lippo Cikarang serta berbagai fasilitas pendukung lainnya.
·         Contoh kota baru yang direncanakan multifungsi adalah Bumi Serpong Damai (BSD) yang dibangun di sebelah barat Jakarta mulai 1980-an. Di samping menyediakan perumahan, BSD menyediakan pula tanah untuk pembangunan industri dengan teknologi tinggi dan relatif bersih. Diharapkan pada suatu saat sebagian besar penduduk BSD akan bekerja di BSD dan sebagian lagi akan bekerja di kawasan sekitarnya termasuk di Jakarta dan Tangerang. Semua kebutuhan penduduk BSD direncanakan tersedia di BSD sendiri. Pengembangnya menyebut BSD sebagai kota mandiri. Saat ini BSD lebih merupakan kota tempat tinggal karena kesempatan kerja yang ada lebih bersifat melayani kebutuhan setempat, sedangkan industry belum berkembang.

B.   Isu-Isu Pembangunan Kota Baru

Ada beberapa isu-isu yang berkembang yaitu:
1.    Kota-kota mandiri terutama di sekitar kawasan metropolitan Jakarta atau Jabodetabek dinilai tumbuh secara semrawut dan tidak ada singkronisasi antara satu kawasan dengan kawasan lainnya
2.    Para pengembang swasta dinilai terlalu dominan dalam menguasai lahan dalam jumlah besar di sekitar Jabodetabek. Ada sekitar 60 ribu hektar lahan yang dikuasai lima pengembang besar yang tersebar di Bogor, Tangerang dan Bekasi. Selanjutnya, dominasi penguasaan lahan oleh pengembang swasta ini menjadi awal masalah selanjutnya, seperti dirumuskan di bawah ini,
3.    Penguasaan lahan skala besar oleh pengembang swasta ini menyebabkan pengembang swasta menguasai penuh penggunaan lahan miliknya. Meskipun perlu mendapatkan izin site plan, para pengembang membuat sendiri rencana tata ruang detail di kawasan tersebut.
4.    Pengembang swasta dinilai tidak memenuhi kewajibannya dalam membangun permukiman sesuai ketentuan-ketentuan, seperti contohnya dalam hal hunian berimbang.
5.    Ada kekosongan hukum dalam penguasaan lahan oleh swasta, sehingga pengembang swasta dapat menguasai lahan seluas-luasnya dalam jumlah yang tak terbatas,
6.    Adanya kelemahan pemerintah dalam mengawasi pelaksanaan tata ruang, terutama di tingkat daerah. Pemerintah dinilai kurang tegas dalam menindak penyimpangan penataan ruang.

Berdasarkan permasalahan umum perumahan dalam perkotaan, Djoko Sujarto juga menjelaskan bahwa dari bertambahnya penduduk dan perkembangan aktivitas kegiatannya akan merujuk pada perkembangan masyarakat kota. Perkembangan masyarakat kota inilah yang menyebabkan kebutuhan akan ruang meningkat. Yang kemudian diperlukannya sebuah usaha dan strategi pengembangan kota. Pengembangan kota sendiri meliputi 3 aspek utama, yaitu :
·         Intensifikasi Kota;
Usaha intensifikasi perkotaan dalam hal ini meliputi usaha-usaha untuk meningkatkan kapasitas dan intensitas pelayanan kota.
·         Ekstensifikasi Kota;
Usaha ekstensifikasi dilakukan dengan cara memperluas ruang serta membuka wilayah baru pada wilayah kantong (enclave) atau pinggiran kota yang belum berkembang dan masih kosong.
·         Pengembangan Kota Baru.
Pembangunan kota baru adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan cara membangun kota-kota baru baik di dalam wilayah kota itu sendiri sebagai kotabaru atau di luar wilayah kota itu yang tidak terlalu jauh sebagai fungsi kota satelit. Berbagai cara tersebut dapat ditempuh sesuai dengan kebutuhan serta ketersediaan sumberdaya yang memungkinkan.



C.   Sejarah Kota Baru

Perkembangan Kota Baru meliputi beberapa zaman antara lain adalah sebagai berikut :
1.    Kota baru masa silam dan masa pra revolusi industri
Kota baru masa silam terjadi zaman Mesir, Cina, Yunani dan Romawi. Pembangunan kota baru dilandasi oleh kekuasaan dan penguasaan.
2.    Kota baru pada masa revolusi industri terbagi menjadi dua, yaitu :
a.    Kota pekerja, yaitu permukiman berskala besar di sekitar pusat industri.
b.    Kota satelit, yaitu permukiman pekerja pada lokasi baru yang tidak jauh dari pusat industri.
3.    Kota baru pasca revolusi industri : generasi pertama dan kedua
1.    Kota baru pada generasi pertama memiliki fungsi yaitu :
a.    ebagai inovasi untuk memecahkan permukiman di kota yang padat industri : Garden City oleh Ebenezer Howard.
b.    Lingkungan kota yang manusiawi, ramah lingkungan, hidup berkualitas.
2.    Kota baru generasi kedua
a.    Perkembangan metropolitan
b.    Antisipasi kebutuhan permukiman berskala besar
c.    Pengembangan wilayah
d.    Pengembangan usaha
4.  Kota baru : New Urbanism
Konsep New Urbanism adalah suatu konsep yang menggabungkan konsep transportasi modern dengan pola ketetanggaan pada kota tradisional Amerika.


















D.   Perkembangan Kota Baru di Indonesia

Selama tiga dekade sejak 1950, pembangunan kota baru di Indonesia didominasi pembangunan ibukota baru provinsi dan kabupaten. Pemrakarsanya pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Saat itu, kegiatan pengembang swasta masih terbatas pada pembangunan perumahan mewah dan menengah di kota besar dan metropolitan. Karena itu, tidak dapat dikatakan sebagai pembangunan kota baru berapa pun besar proyeknya, karena dianggap hanya sebagai perluasan terhadap kawasan perkotaan yang di kota bersangkutan.

Mulai awal 1980-an, banyak pengembang swasta mengambil prakarsa membangun kota baru di kabupaten sekitar kota besar dan metropolitan seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Kota baru yang diprakarsai pemerintah pusat adalah Kebayoran Baru dan Pekanbaru. Kebayoran Baru direncanakan Pemerintah Pendudukan Belanda pada 1948. Pembangunannya dilakukan mulai 1949 sampai pertengahan 1950-an. Untuk pembangunannya didirikan Centrale Stichting Wederopkouw (CSW) dan Regional Opkouw Bureau Kebayoran. Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia akhir 1949, pembangunan dilanjutkan Djawatan Pekerdjaan Umum Kota Baru Kebayoran di bawah Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota baru Pekanbaru dimulai Balai Tata Ruangan Pembangunan, Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga, pertengahan 1950-an.

Pemerintah menitikberatkan pada pembangunan jaringan utama prasarana dan gedung pemerintah (kantor maupun perumahan dinas pejabat). Pembangunan lainnya diserahkan kepada masyarakat. Kota baru yang diprakarsai pemerintah propinsi adalah Palangkaraya yang ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Kalimantan Tengah. Palangkaraya dibangun di tepi Sungai Kahayan yang saat  itu merupakan satu-satunya aspek masuk ke Palangkaraya. Mulai dari penetapan lokasi, perencanaan tata ruang sampai pembangunannya, diprakarsai pemerintah daerah. Dalam hal ini, gubernur berperan penting dan menentukan. Pemerintah pusat lebih berperan sebagai penasehat teknis dan pemberi bantuan dana untuk membangun jaringan utama prasarana dan gedung pemerintah.

Kota baru yang diprakarsai pemerintah kabupaten adalah ibukota baru kabupaten bersangkutan yang dipindah dari kotamadya dengan alasan ibukota kabupaten seharusnya ada di daerah kabupaten bersangkutan. Kalau ibukota daerah kabupaten ada di kotamadya, pemerintah kabupaten tidak bebas bertindak karena yang berkuasa adalah pemerintah kotamadya bersangkutan. Kabupaten yang memindahkan ibukotanya dengan membangun kota baru, antara lain Aceh Besar dari Banda Aceh ke Janto, Bengkulu Utara dari Bengkulu ke Argamakmur dan Bogor dari Bogor ke Cibinong. Pola penanganannya serupa dengan pembangunan ibukota baru propinsi dimana peran pemerintah lebih dipusatkan pada pembangunan jaringan utama prasarana dan gedung pemerintah, termasuk pembangunan perumahan pegawai pemerintah daerah.

Dalam membangun ibukota baru, ada pemerintah kabupaten yang berkerja sama dengan pengembang swasta. Contohnya, pembangunan ibukota baru kabupaten Tangerang dengan memanfaatkan perkebunan karet di Tigaraksa. Sejak penentuan lokasi dan perencanaan tata ruang, pengembang bersangkutan sudah diikutsertakan. Pembangunan prasarana dan sebagian gedung pemerintah dilakukan pengembang dengan imbalan tanah dan pembebasan berbagai biaya yang biasa dikenakan kepada pengembang.





E.   Keuntungan dan Problematika Kota Baru

Beberapa keuntungan serta permasalahan yang berhasil di rangkum dalam makalah ini adalah :

a.    Keuntungan :
·         Tersebarnya Konsentrasi Penduduk
·         Tersedianya lingkungan permukiman yang secara fisik tata ruang tertata dengan baik dan dilengkapi dengan fasilitas permukiman yang memadai

b.    Permasalahan yang timbul :
·         Arus Penglaju yang besar ulang alik antara kota-kota satellite dengan kota induknya
·         Terjadi urban sprawl
·         Kemacetan lalu lintas




F.  Ekologi Kota Baru
Dalam implementasinya Ekologi Kota baru harus mampu mencerminkan sebagai kota yang berkelanjutan. Ekologi kota baru direncanakan seharusnya memiliki tujuan dalam penggunaan sumber daya yang seminimal mungkin serta memberikan dampak yang sekecil mungkin. Kota harus mampu mendaur-ulang sumber-sumber daya tersebut. Dalam konteks ini, kota ekologis memiliki prinsip yang berbeda dengan kota modern. Perbedaan tersebut terletak pada penggunaan sumber-sumber daya dan dampak yang ditimbulkannya.
Pergeseran paradigma ini merupakan konsekuensi logis untuk mencapai tujuan sebagai kota ekologis. Namun hal yang tersulit untuk membentuknya adalah proses dalam menangani sumber daya tersebut, karena diperlukan upaya mendaur-ulang sumber daya tersebut.
Suatu prinsip dan strategi pembangunan kota , meliputi beberapa hal berikut:

1.   Mengembalikan lingkungan yang mengalami degradasi
Membangun kota dengan konsep taman, Menetapkan koridor hijau di kawasan pedesaan dan perkotaan, Meningkatkan kegiatan pedesaan untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan.

2.   Mencegah Urban Sprawl
Membatasi perluasan pembangunan baru, Mengkonsolidasi kawasan kota yang ada dengan mengupayakan penggunaan terbaik pada sumber daya,  Mempertahankan kota agar tetap hidup, dan sebagai tempat yang enak ditinggali, Menciptakan jaringan transportasi yang efisien.

3.   Berperan terhadap ekonomi
Industri yang berkelanjutan, Mengembangkan teknologi yang berbasis lingkungan, Penggunaan teknologi informasi yang tepat.

4.   Menyediakan kesehatan dan keamanan
Mengurangi polusi dan meningkatkan kualitas lingkungan, Pengumpulan, daur ulang dan penggunaan kembali limbah padat, Penyediaan dan sanitasi air, Lingkungan yang tidak beracun dan non-alergi.

5.   Mendorong masyarakat
Melibatkan masyarakat dalam pembangunan kota, Meningkatkan peran serta masyarakat dalam administrasi publik dan manajemen, Mewujudkan pembangunan melalui proses yang melibatkan seluruh masyarakat agar dapat menyumbang hasil yang diharapkan.

6.   Memberdayakan cultural landscape
Perbedaan kelompok budaya, pesta rakyat, Adanya festival seni dan budaya, Bentuk seni multikultural, Jaringan komunitas seni dan kerajinan.

7.   Memperbaiki biosfer
Proyek kerjasama restorasi lahan untuk pengembangan baru, Memperbaiki, mengisi dan meningkatkan udara, air, lahan, energi, biomass, makanan, keanekaragaman, habitat , ecolinks,mendaur ulang limbah.

Struktur kota juga dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

a.   Struktur kota sacara demografi
Masyarakat yang berada dikota tersebut sangat heterogen dari pekerjaan, pendapat, pendidikan dan lain-lain, dari ke heterogen penduduk kota yang terpenting adalah didalam kota penduduknya berada pada usia kerja. Pada demografi penduduk kota, lebih banyak penduduk perempuan dari pada laki-laki hal ini karena dengan heterogen kota maka jumlah penduduk perempuan lebih dibutuhkan pada bidang jasa, dan perempuan lebih mendominasi pada bidang ini.

b.   Struktur kota secara ekonomi
Heterogenya pekerjaan, penduduk kota akan bergerak dalam bidang industry, perdagangan, dan jasa. Oleh itulah hal ini selalu diikuti oleh fungsi kota (pekerjaan selalu mengikuti fungsi kota). Contohnya kota fungsi pendidikan maka pekerjaan banyak yang berkaitan dengan pendidikan. Yang terpenting keaneragaman, karena semua bergantung fungsi pada kota karena kota tidak pernah memiliki fungsi tunggal. Tiga fungsi kota industry perdagangan jasa, peran yang awalnya tunggalakan menjadi ganda.

c.   Struktur kota secara segregasi
Pengelompokan secara etnis bisa terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. pengelompokan secara pendidikan, ekonomi, profesi adalah pengelompokan secara sengaja. Jika pengelompokan sengaja berdasarkan hal tersebut, lain halnya dengan pengelompokan secara tidak sengaja yang terjadi disebabkan oleh arus urbanisasi yang masuk ke kota dan menempati area-area lapangan di perkotaan untuk tempat bermukim dan biasanya hal ini berasal pada satu daerah, adapun dari fisiknya adalah tidak memiliki saluran air secara bersih yang biasanya disebut SlumArea.

Ada tiga fungsi kota :

1.        fungsi melancarkan pengawasan (administratif politis)
2.        fungsi sebagai pusat pertukaran (komersial)
3.        fungsi memproses bahan sumber daya (industrial)

Fungsi pertama dan  Fungsi kedua adalah teori pusat. Karena pada fungsi-fungsi tersebut dapat menjangkau pelayanan kebutuhan administrasi yang luas sekali (fungsi pertama) dan menjadi tempat dari kota-kota lain untuk melakuakan pertukaran (fungsi kedua). Apabila penduduk membutuhkan surat-surat Negara maka mereka harus meminta izin pada kota yang memiliki administrasi politis, sehingga pada kota yang memliki fungsi berguna untuk pelayanan kebutuhan atau perizinan bagi penduduk yang ada diluar kota, fungsi kedua (komersial) dapat dinyatakan sebagai Central Place karena juga menjadi pusat dari kebutuhan dari luar maupun dalam kota.

Thursday, January 26, 2017

Sistem Perumahan dan Permukiman

Konsep Perencanaan Perumahan merupakan sebuah gambaran yang telah difikirkan untuk membuat sebuah lingkungan yang terdiri dari kumpulan unit-unit rumah tinggal dimana dimungkinkan terjadinya interaksi sosial diantara penghuninya,  serta dilengkapi prasarana sosial,  ekonomi,  budaya,  dan pelayanan  yang merupakan subsistem dari kota secara keseluruhan.
Berikut ini adalah slide Sistem Perumahan dan Permukiman 

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TRANSPORTASI PUBLIK BUS TRANSJAKARTA BUSWAY DALAM RANGKA MENGURANGI KEMACETAN

BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang
Pelayanan publik (Public Service) atau pelayanan umum  merupakan segala bentuk kegiatan dalam bentuk pelayanan jasa, baik dalam bentuk barang maupun jasa yang  menjadi tanggung jawab pemerintah. Didalam keputusan Menteri Aparatur Negara  Nomor: Kep/25/M.Pan/2/2004 Tentang  Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan pelayanan publik sifatnya umum karena mencakup hajat hidup orang banyak.
Pelayanan publik juga dapat dijadikan sebagai tolak ukur dari hasil kinerja pemerintah dalam melayani masyarakat. Kualitas pelayanan publik mencerminkan kinerja dari pemerintah itu sendiri. Masyarakat merupakan objek yang merasakan langsung dari dampak pelayanan publik tersebut. Keberhasilan pemerintah dalam membangun pelayanan publik dilihat dari professionalisme, efektifitas, dan efisiensi.
Namum pada kenyataannya pelayanan publik di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dijalankan oleh pemerintah belum berjalan secara professional, efektif, dan efisien. Banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat mencerminkan belum maksimalnya kinerja pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik. Ditingkat ASEAN saja Indonesia termasuk negara yang paling buruk dalam pelayanan publik. Indonesia saat ini sudah tertinggal oleh Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan negara yang paling maju dalam urusan pelayanan publik di tingkat ASEAN adalah Singapura. Hasil dari laporan World Bank tahun 2011, Indonesia berada di posisi 129 dari 150 negara penyelenggara pelayanan publik.
Salah satu pelayanan publik yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia adalah pelayanan trasnportasi umum. Pada awalnya, tujuan dari pembangunan pelayanan trasnportasi di Indonesia adalah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembangunan trasnportasi di Indonesia berpedoman pada sistem transportasi nasional (Sistranas), yang diarahkan untuk mendukung perwujudan Indonesia menjadi lebih sejahtera dan mewujudakan Indonesia yang aman, adil dan, demokratis.
Namun pada kenyataannya,pelayanan transportasi di Indoensia belum berjalan sesuai dengan harapan. Berbagai fenomena permasalahan muncul didalam tatanan sistem transportasi di Indonesia khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, buruknya pelayanan, kecelakaan, kemacetan, kriminalitas, dan sarana fasilitas umum yang rusak menjadi tontonan sehari-hari. Sistem transportasi di Ibu Kota Jakarta menjadi semakin semerawut. Jumlah kapasitas sarana trasnportasi publik belum dapat mengimbangi jumlah mobilitas penduduk seperti yang terjadi di Ibu Kota Jakarta. Kendaraan umum yang ada di kota-kota besar di Indonesia umumnya berukuran kecil dan tidak seimbang dengan jumlah pengguna trasnportasi. Dan parahnya jumlahnya sangat banyak.
Fenomena yang terjadi di Indonesia, transportasi publik lebih diutamakan sebagai sarana kepentingan bisnis daripada kepentingan umum. Transportasi publik saat ini tidak lagi memperhatikan aspek kepentingan umum seperti aspek keselamatan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kecelakaan disektor transportasi publik. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan (Ditjen Hubdar Dephub) rata-rata korban meninggal dunia dalam 1 tahun sejumlah 10.696 jiwa atau setiap harinya lebih dari 20 keluarga yang harus kehilangan anggota keluarganya. Rendahnya kedisiplinan pengemudi transportasi publik menjadi penyebab terjadinya kecelakaan. Tingginya angka kecelakaan di sektor transportasi publik disebabkan banyaknya pelanggaran-pelanggaran aturan lalu lintas. Pelanggaran yang sering dilakukan oleh para supir antara lain, mengemudi ugal-ugalan, menyerobot lampu merah, surat-surat yang tidak lengkap, pelanggaran marka jalan, dan jumlah muatan yang melebihi kapasitas. Masalah menjadi bertambah parah dengan mudahnya pemberian izin trayek kepada para pengusaha angkutan umum. Pemberian izin trayek ini justru menjadi kesempatan bagi para pejabat untuk meraup keuntungan. Namun disisi lain, pemberian izin pembukaan trayek baru menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin. (wikipedia.org). Dengan adanya trasnportasi diharapkan dapat memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari.Transportasi sangat diperlukan untuk wilayah yang memiliki jumlah populasi yang besar. Sebut saja Jakarta, pada tahun 2010 Ibu Kota Negara Republik Indonesia ini memiliki jumlah penduduk sekitar 9,607,787 jiwa (http://www.bps.go.id/). Jumlah penduduk akan menjadi bertambah disiang hari, ketika penduduk dari luar Jakarta (Bogor, Depok, Bekasi, dan Tanggerang) keluar masuk untuk bekerja di Jakarta. Ini artinya mobilitas penduduk Jakarta dan sekitarnya sangat tinggi. Diperlukan moda transportasi masal yang dapat memindahkan mobiltas penduduk dalam jumlah yang besar. Tranportasi masal tersebut tidak hanya menghubungkan antar wilayah di sekitar Jakarta saja, tetapi juga menghubungkan antar wilayah disekitar Jakarta (hiterland) seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tanggerang (Bodetabek), agar memudahkan penduduk yang melakukan perjalan ulang alik setiap harinya. 
Didalam harian Kompas (Selasa, 12 Oktober 2010 | 09:06) WIB disebutkan berdasarkan data Polda Metro Jaya, jumlah perjalanan di Jakarta mencapai pada bulan mei 2010 mencapai 20,7 juta perjalanan per hari. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah perjalanan dari Tanggerang 850.000 perjalan per hari, Depok 600.000 perjalan per hari, dan Bekasi 550.000 perjalan per hari. Dari jumlah tersebut, 44 persen diantaranya dilayani oleh kendaraan pribadi dan 56 persen dilayani oleh angkutan umum. Didalam harian Kompas (Selasa, 12 Oktober 2010 | 09:06) juga disebutkan, jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakrta pada tahun 2009 mencapai 6,5 juta unit yang terdiri dari 98,6 persen kendaraan pribadi atau 6,4 juta unit, dan angkutan umum 1,4 persen atau 88,477 unit. Dan jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah.Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan jumlah kapasitas jalan yang hanya bertambah sekitar 0,01 persen setiap tahunnya. Sehingga menimbulkan kemacetan disejumlah jalan protokol di DKI Jakarta. Kemacetan di Jakarta tidak hanya disebabkan oleh jumlah kendaraan yang terus bertambah, tetapi juga disebabkan oleh ketidak disiplinan para pengedara yang sering melanggar peraturan rambu-rambu lalu lintas.
Untuk mengurangi kemacetan di Jakarta, beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti pemberlakuan kebijakan 3 in 1 di jalan-jalan tertentu. Kebijakan 3 in 1 ini telah diterapkan pada tahun 2003 melalui keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 4104/2003 Tanggal 23 Desember 2003, tujuannya untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Secara konsiten jumlah kendaraann pribadi seperti mobil  terus bertambah dan ramalan kemacetan total pun semakin menjadi kenyataan (kompasiana 28 February 2013 | 16:44). Namun kebijakan 3 in 1 ini tidak berjalan secara efektif. Kebijakan 3 in 1 yang diimplementasikan di DKI Jakarta belum mampu mengurangi kemacetan. Rendahnya ketidak disiplinan dan ketidak tegasan aparatur penegak hukum menjadi penyebab tidak berjalannya kebijakan 3 in 1 dalam mengurangi kemcaetan. Bahkan di tahun 2013 ini, rencananya kebijakan 3 in 1 akan di hapus oleh pemerintah DKI Jakarta dengan alasan tidak bisa mengatasi kemacetan. Sebagai penggantinya, pemerintah DKI Jakarta mulai tahun 2004 fokus pada pembangunan sistem transportasi masal. Tujuannya agar penduduk DKI Jakarta dapat berlalih dari kendaraa pribadi ke transportasi masal.
Sejak tahun 2004, pemerintah DKI Jakarta meluncurkan transportasi massal busway. Tujuannya agar para pengguna kendaraan pribadi berpindah ke transportasi umum. Sistem transportasi busway ini diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Jakarta. Ide pembangunan proyek Bus Rapid Transit (BRT) atau Busway di Jakarta, sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2001. Sistem Bus Rapid Transit ini terisnpirasi dengan proyek yang ada di Bogota. Sistem ini dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia. Kemudian ide ini menjadi sebuah tantangan untuk gubernur Sutiyoso yang terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta untuk periode yang kedua (2002-2007). Sebuah institut bernama Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) menjadi pihak penting yang mengiringi proses perencanaan proyek ini. Konsep awal dari sistem ini dibuat oleh PT. Pamintori Cipta, sebuah konsultan transportasi yang sudah sering bekerjasama dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Selain pihak swasta, terdapat beberapa pihak lain yang juga mendukung keberhasilan dari proyek ini, di antaranya adalah badan bantuan Amerika (US AID) dan The University of Indonesia’s Center for Transportation Studies (UI-CTS). (http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta)
Bus Transjakarta atau Busway memulai operasinya pada 15 Januari 2004 dengan tujuan memberikan jasa angkutan yang lebih cepat, nyaman, namun terjangkau bagi warga Jakarta. Untuk mencapai hal tersebut, bus ini diberikan lajur khusus di jalan-jalan yang menjadi bagian dari rutenya dan lajur tersebut tidak boleh dilewati kendaraan lainnya (termasuk bus umum selain Transjakarta). Agar terjangkau oleh masyarakat, maka harga tiket disubsidi oleh pemerintah daerah. (http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta)
Namun dalam perjalanannya, sistem transportasi massal Busway tidak berjalan dengan mulus. Pada tahun 2011, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI memberikan penilaian bahwa pelayanan Bus Transjakarta Busway merupakan pelayanan busway paling buruk didunia. Penilaian pelayanan Bus Transjakarta di lihat dari kondisi bus yang sudah mulai tua dan rusak. Selain itu masalah ketepatan waktu juga menjadi penilaian. Bus Transjakarta belum memiliki waktu tempuh yang ideal. Jarak waktu tempuh (headway) antara kedatanagna Bus Transjakarta dengan Bus Transjakarta lainnya tidak dapat diprediksi pada saat memasuki halte. Sehingga menyebabkan penumpukan penumpang di sejumlah halte Busway. Hal ini seperti yang terjadi di halte Busway Kampung Melayu, dimana sejumlah penumpang berdesak-desakan untuk mendapatkan Busway yang akan mereka tumpangi. Halte Busway Kampung Melayu merupakan tempat transit antara Busway koridor 5 jurusan Kampung Melayu – Ancol, koridor 7 jurusan Kampung Rambutan – Kampung Melayu, dan koridor 11 jurusan Kampung Melayu – Pulo Gebang.
Berdasarkan hasil Institut Studi Transportasi (INSTRAN) menyebutkan, berdasarkan Data Instute for Transportasi and Development Policy (ITDP), jumlah penumpang busway pada tahun 2009 dan 2010 mengalami penurunan sebesar 6 %. Padahal jumlah penumpang busway 2005 ke 2006 mengalami peningkatan dari 20,7 juta penumpang menjadi 38,8 juta penumpang atau meningkat sebesar 87 %. Padahal jumlah panjang jalur koridor Busway hingga tahun 2012 mencapai 170 Km, dan merupakan jalur koridor busway terpanjang di dunia. Seharusnya jumlah penumpang busway terus bertambah dan kemacetan pun berkurang.
Selain itu permasalahan lain yang harus diperhatikan oleh pemprov DKI Jakarta adalah kualitas armada bus. Saat ini sudah beberapa kali Bus Transjakarta yang terbakar disejumlah koridor. Hal ini seperti yang terjadi koridor III jurusan Kalideres – Pasar Baru jalan Daan Mogot, dimana Busway terbakar diduga dari konsleting listrik dari ruang mesin bus. Namun untungnya tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini karena busway dalam keadaan kosong. Tapi kondisi ini harus menjadi perhatian pemerintah Provinsi DKI Jakarta selaku penyelenggara Bus Transjakarta.
Penanganan permasalahan trasnporatsi di DKI Jakarta khususnya Bus Transjakarta sangat penting. Dalam meningkatkan kualitas pelayanan transportasi massal, pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memiliki suatu konsep yang matang agar permasalahan transportasi publik seperti Bus Transjakarta Busway tidak terjadi kembali dimasa yang akan datang.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa masih banyak permasalahan yang terjadi didalam pelayanan transportasi publik Bus Transjakarta. Dengan melihat fenomena permasalah yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti mengidentifikasi dan merumuskan masalah sebagai berikut, bagaimana implementasi kebijakan transportasi publik Bus Transjakarta/Busway yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka mengurangi kemacetan.

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan
1.3.1    Maksud Penulisan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi tentang implementasi kebijakan transportasi publik Bus Transjakarta/Busway yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka mengurangi kemacetan.

1.3.2    Tujuan Penulisan
Tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana permasalahan implementasi kebijakan transportasi publik Bus Transjakarta/Busway yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka mengurangi kemacetan.






BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pembahasan
2.1.1    Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Tidak terlakasanya sebuah implementasi kebijakan publik disebabkan tidak adanya kejelasan mengapa kebijakan tersebut dibuat. Didalam pelaksanaannya kegagalan impelemtasi kebijakan disebabkan tidak adanya tindakan yang amanah atau tidak melaksanakan dengan sungguh-sungguh. Impelentasi kebijakan transportasi busway di DKI Jakarta belum dapat menjawab permasalahan kemacetan di Ibu Kota. Sejak di luncurkan pada tanggal 5 Januari 2004, hingga tahun 2012 belum dapat memberikan kontribusi dalam mengurangi volume kemacetan. Penyerobotan jalur busway dengan masuknya kendaraan pribadi ke dalam jalur koridor busway sudah sering terjadi. Didalam aturannya kendaraan pribadi tidak diperbolehkan untuk masuk ke jalur busway. Jalur busway di buat agar arus lalu lintas busway steril dari kendaraan pribadi dan busway terhindar dari kemacetan. Sehingga muncul harapan dengan menggunakan busway masyarakat dapat melakukan perjalanan dengan lebih cepat, aman, nyaman, dan murah. Dengan demikian, semakin banyaknya pengguna kendaraan pribadi berlalih ke Busway, maka akan mengurangi jumlah kemacetan di DKI Jakarta. Namun apa yang terjadi justru malah sebaliknya. Bus Transjakarta atau busway hampir setiap harinya justru terjebak didalam kemacetan. Jalur yang seharusnya steril dari kendaraan pribadi justru banyak diserobot oleh kendaraan pribandi. Sehingga keberadaan busway disejumlah koridor belum dapat menjawab permasalahan kemacetan.
Agar implementasi kebijakan transportasi publik busway berjalan dengan baik, setiap pengguna kendaraan pribadi yang memasuki jalur busway akan dikenakan sangsi tilang atau denda. Namun denda yang diterapkan masih terlalu kecil. Sehingga belum menimbulkan efek jera bagi para pengguna kendaraan pribadi. Didalam variabel ini, implementasi kebijakan transportasi busway belum sepenuhnya berhasil. Selain masalah jalur busway yang tidak steril, menumpuknya penumpang disejumlah halte busway juga menjadi perhatian. Penumpang Bus Transjakarta belum sepenuhnya merasakan kenyamanan dalam menggunakan transportasi busway. Selain itu kondisi bus yang sudah mulai tua dan rusak. Serta jumlah armada busway yang belum mengimbangi jumlah penumpang busway. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Keberhasilan dari implementasi kebijakan transportasi publik Bus Transjakarta antara lain, adanya ketepatan waktu jarak kedatangan busway dengan busway lainna di halte (headway), stereilnya jalur busway dari kendaraan pribadi, dan kapasitas bus yang memadai. Namun pada kenyataannya ketiga hal tersebut belum 100 persen terealisasi.

2.2 Sumber Daya
Berbicara sumber daya tidak akan terlepas dari seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya yang dimiliki. Dalam melakukan implementasi kebijakan publik tentunya harus didukung oleh sumber daya yang memadai. Implementasi kebijakanbusway di Jakarta tentunya harus didukung sumber daya yang cukup. Sumber daya finansial merupakan sumber daya utama yang perlu dipersiapkan, mengingat pembangunan insfrasrutur busway dan pengadaan bus membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Untuk pembangunan Koridor Busway XIII (Cileduk-Blok M) dibutuhkan dana sebesar Rp 1,4 triliun yang berasal dari APBD DKI Jakarta tahun 2013. Pembangunan koridor busway XII ini masih dalam tahap perencanaan dan diharapkan selesai pada tahun 2015. Dengan adanya jalur koridor busway XIII diharapkan masyarakat dapat beralih ke moda transportasi Bus Transjakarta.
Bus Transjakarta dikelola oleh dikelola oleh Badan Layanan Umum Transjakarta (BLUJT). Lembaga ini dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 110/2003 tentang Pembentukan BP Transjakarta. Pada tahun 2006 namanya kemudian diganti menjadi Badan Layanan Umum Transjakarta berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 48 Tahun 2006. BLUTJ bernaung di bawah Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta.
Pengoperasian bus Transjakarta didukung oleh sembilan operator bus Transjakarta yang beroperasi disejumlah koridor. Sembilan operator yang mengoperasikan bus Transjakarta yaitu : PT. Jakarta Express Trans (JET), PT. Trans Batavia (TB), PT. Jakarta Trans Metropolitan (JTM), PT. Primajasa Perdayana Utama (PP), PT. Jakarta Mega Trans (JMT), PT. Eka Sari Lorena (LRN), PT. Bianglala Metropolitan (BMP), PT. Trans Mayapada Busway (TMB), dan Perum Damri (DMR).
Untuk menunjang moda trasnportasi massal bus Transjakarta, Badan Layanan Umum Transjakarta (BLUJT) didukung oleh 6000 karyawan yang terdiri dari pramudi, petugas pengamanan, petugas tiket dan petugas kebersihan. Bus Transjakarta Busway juga memiliki 215 halte dan 669 unit bus yang tersebar di 12 koridor busway. Bus Transjakarta juga didukung oleh feeder busway. Feeder Busway adalah sistem angkutan penumpang umum yang terintegrasi dengan koridor busway. Guna mengakomodir transportasi masyarakat yang beraktifitas di kawasan sentra bisnis namun belum terhubung dengan jalur busway, maka dioperasikan bus pengumpan (feeder bus) pada tanggal 28 September 2011.
Bila dilihat dari sudut pandang bisnis, pada bulan maret 2013 bus Transjakarta Busway telah memperoleh pendapatan sekitar Rp. 30, 5 Miliar. Jumlah tersebut meningkat sekitar 40 % atau naik Rp 4,5 Miliar dari bulan februari 2013 yang berjumlah Rp. 26,5 Miliar. Ini artinya secara bisnis jumlah pendapatan bus Transjakarta mengalami peningkatan yang signifikan. Secara bisnis pelayanan bus Transjakarta dapat dinilai cukup berhasil.
Bila diliat dari jumlah penumpang antara januari 2013 hingga april 2013 juga mengalami peningkatan sekitar 80 %. Walaupun pada tahun 2012 jumlah penumpangbusway mengalami pasang surut. Pada bulan desember 2012 saja mengalami penurunan 30 %. Sedangkan di bulan agustus 2012 mengalami penurunan jumlah penumpang yang hampir mencapai 70%. Ini artinya pada tahun 2013, jumlah penumpang bus TransjakartaBusway mengalami peningkatan. Walaupun kemacetan masih sering terjadi di wilayah DKI Jakarta.
Untuk mendukung kelacaran operasional bus Transjakarta Busway , BLUTJ selaku pengelola masih membutuhkan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBBG) tambahan untuk memenuhi bus Trasnjakarta yang menggunakan bahan bakar gas. Saat ini jumlah SPBBG sebanyak 16 SPBBG yang tersebar diwilayah Jakarta. Namun lokasi SPBBG belum dapat dijangkau oleh busway karena lokasi yang jauh dari koridor yang dilalui. Sehingga membuat headway di sejumlah koridor menjadi lama. Selama ini SPBBG yang ada digunakan untuk memenuhi bahan bakar gas bajaj dan bus Transjakarta Busway. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar gas busway, maka diperlukan penambahan jumlah SPBBG setiap koridor busway.

2.3 Karakteristik Agen Pelaksana
Keberhasilan sebuah kebijakan juga dilihat dari karakteristik agen pelaksana. Karakteristik agen pelaksana sangat mempengaruhi sebuah kebijakan. Jika kondisi agen pelaksana baik maka sebuah kebijakan yang telah ditetapkan akan berjalan dengan baik. Jika kondisi agen pelaksana tidak baik, maka kebijakan yang dibuat tidak akan berjalan dengan baik dan tidak berjalan secara optimal.
Kinerja implementasi kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh para agen pelaksananya. Dalam hal ini agen pelaksana kebijakan publik meliputi Gubernur DKI Jakarta selaku pembuat kebijakan dengan dibantu satuan tugas (Satgas) khusus selaku pelaksana implementasi kebijakan dilapangan. Satgas tersebut meliputi gabungan Kepolisian, Dishub DKI Jakarta, Garnisun, Propam Jakarta, Satpol PP, dan BLU Transjakarta. Tugas dari satgas tersebut meliputi pengamanan halte busway, mensterilkan jalur busway, penegakkan hukum,  Dalam satgas ini Dishub DKI dan Kepolisian bertugas menertibkan kendaraan yang melintas di jalur busway dan melakukan pengaturan, penindakan pelanggaran lalu lintas, Garnisun bertugas menertibkan kendaraan TNI yang melintas di lajur busway sedangkan Propam menertibkan kendaraan Kepolisian, Satpol PP bertugas menertibkan pedagang kaki lima yang menganggu jalur busway, JPO, dan halte, sedangkan BLU Transjakarta membantu dalam pengaturan lalu lintas di jalur bus Transjakarta.
Dengan adanya satgas ini, diharapkan dapat merubah perilaku para pengguna kendaraan pribadi untuk tidak masuk ke jalur busway. Serta meningkatkan keamanan dan kenyamanan penumpang dalam menggunakan transportasi busway. Ketegasan satgas dalam menindak setiap pelanggaran di jalur busway sangat diperlukan. Dengan adanya satgas khusus ini, layanan bus Transjakarta menjadi lebih baik, dapat mengurangi kecelakaan di jalur busway. Selain itu waktu tempuh kedatangan bus lebih cepat sehingga penumpang tidak menunggu lama di halte busway. Penindakan kendaraan dilakukan kepada semua pengemudi kendaraan yang masuk jalur busway mengacu pada Perda No.8 Tahun 2007 yang berisi kendaraan bermotor roda dua atau lebih dilarang masuk jalur busway dan sanksi yang akan dikenakan sesuai ketentuan yang berlaku.

2.4 Sikap Kecenderungan Pelaksana
Keberhasilan sebuah implementasi kebijakan tidak terlepas dari peran dan sikap pelaksana. Impelementasi kebijakan publik akan berjalan efektif apabila didalam pelaksanaannya pihak-pihak yang terkait dapat memahami tugas yang akan dilakukan. Selain itu pihak yang terlibat didalam sebuah implementasi kebijakan publik merupakan pihak-pihak yang memiliki kopetensi di bidangnya.
Dalam hal ini pihak-pihak yang terkait didalam menjalankan implementasi kebijakan transportasi publik Transjakarta tergabung dalam satuan gabungan (Satgas) khusus meliputi, Kepolisian, Dishub DKI Jakarta, Garnisun, Propam Jakarta, Satpol PP, dan BLU Transjakarta. Menurut kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristono ada 486 petugas satgas khusus untuk melakukan strerilisasi jalur busway, pengamanan halte busway, dan penertiban parkir liar. Petugas satgas tersebut terdiri dari Kepolisian, Dishub DKI Jakarta, Garnisun, Propam Jakarta dan Satpol PP. Sementara pengoperasian busway dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta.
Dengan dibentuknya satgas khusus busway, rupanya belum dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Beberapa jalur busway belum strelir dari kendaraan pribadi. Dampak dari tidak strelirnya jalur busway dari kendaraan pribadi menimbulkan tabrakan antara bus Transjakarta dengan kendaraan pribadi. Seperti yang terjadi di koridor IV jalan Mamapang Prapatan, Jakarta Selatan, dimana bus Transjakarta menabrak pengguna sepeda motor yang menyebabkan pengguna motor tewas. (merdeka.com 2/6/13)  Tabrakan bus Transjakarta dengan sepeda motor merupakan gambaran bahwa jalur busway belum steril dari kendaraan pribadi. Selain belum sterilnya jalur busway dari kendaraan pribadi, jalur busway belum steril dari para pejalan kaki yang menyebrang di jalur busway. Hal ini seperti yang terjadi di persimpangan Bukit Duri, Jatinegara Barat, dimana seorang kakek yang akan menyebrang di tabrak oleh bus Transjakarta yang menyebabkan korban meninggal dunia. Bahkan semua kasus tabrakan bus Transjakarta dilimpahkan  ke kejaksaan. Dengan banyaknya kasus tabrakan yang melibatkan bus Transjakarta, kinerja sopir bus Transjakarta harus di evalusi dan dikontrol. (http://www.suarapembaruan.com/, 9/11/11).
Selain itu kualitas pelayanan bus Transjakarta buruk dan banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bahwa masih banyak masyarakat Jakarta yang kurang puas terhadap pelayanan bus Transjakarta. Berdasarkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh YLKI pada tahun 2011, dari total 3000 responden, 50 % persen mengeluhkan keterlambatan buswayhingga lokasi tujuan. Kemudian 1,24% responden mengeluhkan masalah keamanan didalam bus Transjakarta, seperti pelecehan. Sementara pada tahun 2011, Badan Layanan Umum Trasnjakarta mencatat ada delapan kasus pelecehan didalam bus Transjakarta. YLKI juga mencatat, sebanyak 45 % responden mengaku percaya bahwa pelaporan ke layanan call center akan ditindak lanjuti. Hal ini dapat menjadi bahan kajian untuk melakukan kajian evaluasi kinerja BLU Transjakarta selaku pengelola. Perlu adanya pembenahan didalam manajemen Badan Layanan Umum Transjakarta.
Permasalahan kualitas pelayanan bus Transjakarta juga menjadi perhatian Gubernur DKI Jakarta Jokowi. Gubernur DKI Jakarta Jokowi merespon dengan mengganti kepala Badan Layanan Umum Transjakarta M.Akbar. Pergantian ketua BLU Transjakarta dikarenakan banyaknya keluhan masayarakat terhadap kualitas pelayanan bus Transjakarta yang buruk.
Dengan melihat dari kasus tersebut, kinerja karakteristik para pelaksana implementasi kebijakan yang melibatkan petugas satgas khusus bus Transjakarta, belum bekerja secara optimal. Kinerja satgas busway harus ditingkatkan dan diperbaiki. Apa yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta dengan mengganti kepala BLU Transjakrta merupakan salah satu cara untuk memperbaiki kualitas pelayanan busway. Diharapkan dengan adanya kepala BLU Transjakarta yang baru, kualitas pelayanan bus TransjakartaBusway untuk kedepannya lebih baik lagi. Dengan meningkatnya kualitas pelayanan bus Transjakarta, maka akan semakin banyak masyarakat yang beralih ke moda transportasi bus Transjakarta Busway. Sehingga jumlah volume kendaraan pribadi akan berkurang dan kemacetan pun berkurang.

2.5  Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas  Pelaksana
Dalam melaksanakan sebuah implementasi kebijakan publik perlua adanya komunikasi antar pihak pelaksana implementasi. Satuan Gabugan Khusus merupakan perangkat pelaksana implementasi kebijakan transportasi publik bus Transjakarta busway. Satuan Gabungan Khusus atau Satgas merupakan gabungan dari Kepolisian, Dishub DKI Jakarta, Garnisun, Propam Jakarta, Satpol PP, dan BLU Transjakarta.
Untuk memperlancar implementasi kebijakan transportasi publik bus Transjakarta perlu adanya koordinasi diantara para anggota satgas. Komunikasi yang tidak baik didalam koordinasi diantara satgas menyebabkan terhambatnya pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Jalinan komunikasi harus dilaksanakan secara efektif agar pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami.
Didalam menjalankan komunikasi antar organisasi, terdapat pembagian tugas. Untuk melakukan strerilisasi jalur busway, pengamanan halte busway, dan penertiban parkir liar, dilakukan oleh Kepolisian, Dishub DKI Jakarta, Garnisun, Propam Jakarta dan Satpol PP. Sementara untuk pengoperasian busway dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta.

2.6 Lingkungan Ekonomi Sosial dan Politik
Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh implementor dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan publik. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya kondisi yang berlangsung didalam suatu negara atau daerah seperti secara gejolak ekonomi sosial dan politik. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap palaksanaan sebuah kebijakan.
Masalah yang mempengaruhi implementasi kebijakan transportasi publik bus Transjakarta adalah lingkungan ekonomi. Dari sudut pandang ekonomi, implementasi kebijakan bus Transjakarta busway yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah cukup bagus. Harga tiket busway sudah terjangkau oleh masyarakat pengguna bus Transjakarta. Disaat harga BBM naik per tanggal 22 Juni 2013, harga tiket busway tidak naik tetap berada di harga Rp. 3.500,00.  Selain itu, pelayanan Bus Transjakarta juga sudah dilengkapi dengan Sistem E Tiketing Transjakarta Busway. Penerapan sistem pembayaran baru yaitu Electronic Tiketing Transjakarta Busway berbasis E-Money atau uang Electronic Multi Issuer telah diterapkan di koridor 1 (Blok M-Kota) yang diresmikan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada 22 Januari 2013 lalu. Penambahan sistem e-tiketing ini juga telah digunakan di koridor 3 (Kalideres-Harmoni) yang mulai berjalan pada April 2013.
Tujuan penerapan sistem ini bagi penumpang adalah lebih cepat dan praktis dalam bertransaksi, bagi manajemen Transjakarta lebih aman, transparan dan akuntabel dan bagi Pemerintah adalah untuk lebih cepatnya terbentuk Cashless Society. (http://www.transjakarta.co.id/news.php?id=338)

Gambar 1.1 Kartu Electronic Tiketing Transjakarta Busway


Sumber : http://infojkt.com/maret-2013-tiket-bus-transjakarta-gunakan-sistem-elektronik/e-money-bus-transjakarta/

Sistem Electronic Tiketing Transjakarta Busway berbasis E-Money merupakan kerjasama dengan 5 (lima) bank yaitu Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BCA dan Bank DKI. Pembangunan infrastruktur sistem e-tiketing Transjakarta Busway dilakukan oleh PT. Gamatechno Indonesia yang juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan sistem. Cukup dengan menggunakan salah satu kartu dari lima bank diatas, penumpang dapat melakukan transaksi beli tiket Transjakarta menjadi lebih cepat dan praktis karena tidak lagi direpotkan dengan uang kembali/uang receh. Lokasi untuk membeli dan isi ulang kartu pra bayar ini dapat dilakukan di halte-halte Transjakarta, merchant-merchat yang ditunjuk oleh lima bank tersebut serta di kantor cabang masing-masing bank. Untuk dapat digunakan, kartu pra bayar ini harus diisi terlebih dahulu (maksimal Rp. 1.000.000) dan dapat diisi ulang (top up). Cara menggunakan kartu ini sangat mudah, yaitu dengan menempelkan kartu pra bayar pada reader kartu yang telah ada kemudian pembayaran akan langsung diproses secara otomatis dan saldo akan berkurang sejumlah nilai transaksi yang telah dilakukan.
Pemerintah DKI Jakarta menginginkan agar transaksi pengguna Bus Transjakarta dapat beralih ke tiket elektronik. Keuntungan menggunakan tiket elektronik ini adalah lebih efisien dan aman. Penumpang tidak perlu khawatir jika sampai terjaid uang kembaliannya kurang. Jadi penumpang Bus Transjakarta atau Busway tidak perlu lagi membawa uang tunai ketika akan menggunkan jasa transportasi Busway. Cukup gunakan kartu Electronic Tiketing Transjakarta Busway atau Jakcard yang ditempelkan pada mesin reader yang ada di pintu masuk halte Transjakarta. Ketika ditempelkan lampu hijau akan menyala dan bunyi “beep” pada pintu masuk. Penumpang bisa langsung memasuki ruang tunggu bus dan tidak perlu lagi mengantri di loket untuk membeli tiket.
Untuk lingkungan sosial, penerapan moda transportasi publik model Bus Rapid Transit (BRT) seperti busway,  dinilai sangat tepat. Mengingat jumlah perpindahan mobilisasi masyarakat di Jakarta cukup tinggi. Untuk itu moda transporatsi masal sepertibusway sangat diperlukan.
Dalam kurun waktu lima tahun, yakni periode 2004 – 2009, jumlah penumpang Bus Transjakarta dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Penambahan jumlah koridor Busway juga menjadi pendorong meningkatnya jumlah penumpang Busway. Hal ini juga kita dapat melihat pada grafik 1.1 dibawah ini :

Garfik 1.1 Jumlah Penumpang Busway



Data penumpang tersebut merupakan hasil dari penelitian Institute Transportation and Developement Policy (ITDP) Indonesia. Hal ini menandakan adanya perpindahan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi Busway yang mencapai 14 persen. Bus Trnasjakarta atau Busway merupakan sarana transportasi yang paling tinggi frekuensinya dalam memindahkan pengguna mobil pribadi ke moda transportasi Bus Rappit Transit (BRT) seperti Bus Transjakarta.
Pada tahun 2011 jumlah penumpang Busway pada tahun 2011 per harinya mencapai 229.173 penumpang per hari. (http://news.okezone.com/) dan tahun 2013 ini sudah mencapai 350.000 penumpang per hari. Ini artinya semakin banyak masyarakat yang mulai berlalih dari kendaraan pribadi ke Bus Transjakarta. Namun kualitas pelayanan Bus Transjakarta beberapa tahun terakhir mengalami penurunan. Banyak faktor yang menyebabkan pelayanan Busway tidak maksimal, diantaranya disebabkan oleh, jalur Busway yang tidak steril dari kendaraan pribadi, menumpuknya penumpang di dalam halte, jarak waktu tempuh yang lama, Busway yang terbakar, dan tidak sebandingnya kapasitas Busway dengan jumlah penumpang.
Bus Rapid Transit (BRT) atau yang lebih dikenal dengan transjakarta sudah dijalankan selama tujuh tahun di Jakarta. Ternyata hingga saat ini BRT belum menghasilkan manfaat yang maksimal bagi masyarakat. Meski jumlah penumpangnya saat ini sudah mencapai 350.000 per hari yang dilayani dengan 524 buah bus. Jumlah yang seharusnya dapat diangkut oleh 1 buah bus dalam satu hari hanya mengangkat 667 penumpang/bus/hari, seharusnya jumlah penumpang bisa jauh lebih banyak lagi, seperti di Curritiba bisa mengangkut sampai 1450 penumpang/bus/hari.
Dibidang politik, pemerintah berperan sebagai pembuat aturan harus bisa mengambil sebuah keputusan didalam mengeluarkan sebuah kebijakan kepada masyarakat. Didalam pengambilan keputusan, sebaiknya pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan kajian terhadap dampak yang dihasilkan dari kebijakan tersebut. Sebuah kebijakan publik tentunya menimbulkan dampa negatif dan positif. Untuk dampak negatif pemprov DKI harus dapat menimialisir.
Badan Layanan Umum Trasnjakarta merupakan pelaksana langsung pengoperasian bus Transjakarta busway. Badan Layanan Umum Transjakarta berada dibawah koordinasi Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta.
Selama ini manajemen bus Transjakarta selalu menjadi sorotan pengguna bus Transjakarta. Manajemen bus Transjakarta dinilai buruk dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Belum tertatanya manajemen BLU Transjakarta membuat Gubernur DKI Jakarta Jokowi mencopot kepala unit BLU Jakarta Muhammad Akbar dicopot dari jabatannya. Diharapkan dengan digantinya kepala unit BLU Transjakarta pelayanan busway dapat meningkat menjadi lebih baik.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pembahsan di atas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa implementasi kebijakan trasnportasi publik bus tarnsjakarta busway masih terdapat kekurangan dan harus diperbaiki. Kekurangan tersebut antara lain belum maksimalnya petugas gabungan khusus busway dalam menindak kendaraan umum yang menilatsi di jalur busway. Kualitas pelayanan busway masih dikeluhkan oleh pengguna transportasibusway. Namun dari sisi ekonomi transportasi busway sudah dapat dinikmati oleh masyarakat Jakarta. Implementasi kebijakan publik harus dijalankan oleh pihak yang berkopetensi di bidakngnya, dengan melibatkan para ahli diluar organisasi BLU Transjakarta.
           
3.2 Saran
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya terus melakukan monitoring terhadap kinerja perangkat bus Transjakarta agar pelayanan tetap prima. Sumber daya bahan bakar gas (BBG) untuk bahan bakar busway juga harus ditingktakan dengan menyediakan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBBG) di setiap koridor busway.



  


Daftar Pustaka

1.    Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A.   1983. Implementation and Public Policy.  London: Scott, Foresman and Company
2.    Meter, Donald S. Van dan Horn, Carl E. Van.1975.The Policy Implementation Process.  Chicago: Sage Publication
3.    Nugroho, Riant D. 2003. Kebijakan Publik  Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi.   Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
4.    Rusli, Budiman. 2013. Kebijakan Publik Membangun Pelayanan Publik yang Responsif. Bandung: Hakim Publishing.

Teknik Planologi 014 Universitas Bosowa Makassar

Teknik Planologi 014 Universitas Bosowa Makassar

Popular Posts

Blogger templates