Reklamasi Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan
Rencana penambangan pasir laut Galesong, Kabupaten Takalar, akhirnya ditanggapi serius DPRD Sulsel.
Keseriusan itu dibuktikan dengan digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komis D DPRD Sulsel bersama Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) Sulsel, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Cipta Karya dan Tata Ruang Sulsel, Kordinator Pembangunan Kawasan CPI, Dinas ESDM Sulsel, Forum Informasi Komunikasi Kelompok Swadaya Masyarakat (FIK KSM) dan Forum Masyarakat Pesisir dan Nelayan Galesong Raya (Formasi Negara), di Ruang Komisi D, Kamis (20/4/17).
Direktur FIK KSM, Nurlinda Taco mengatakan, pihaknya mewakili masyarakat Galesong, dengan tegas menolak proses penambangan pasir di Galesong dan Sanrobone. Bahkan, pihaknya telah bersurat ke Dinas
PLH Sulsel, Dinas PMPTSP)Sulsel. Namun, surat penolakan tersebut tidak ditanggapi. Buktinya, proses penambangan pasir di Galesong dan Sanrobone tetap dilakukan oleh lima pihak penambang.
“Melalui Rapat Dengar Pendapat ini, kami warga Galesong menolak keras penambangan pasir tersebut,” tegasnya.
Kordinator Pembangunan Kawasan CPI, Ir. Suprapto Budi Santoso dengan tegas menyampaikan hingga saat ini belum ada satupun perusahaan yang kontrak kerjasama dengan CPI terkait penambangan Galesong. “Penimbunan yang akan kita ambil hanya di Sanrobone dan izinnya sudah lengkap,” ungkapnya.
"Kami sudah komunikasi dengan pihak investor dan disepakati bandara bakal dibangun di atas laut di Desa Ujung Baji," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Pemerintah Kabupaten Takalar Sirajuddin, Jumat, 13 Maret 2015.
Dia menuturkan reklamasi laut untuk lahan bandara ini sama seperti pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Dalam melakukan reklamasi, pemerintah menggandeng investor asing melalui PT Bumi Serpong Damai.
Sirajuddin menyebut proses reklamasi bakal dilakukan dalam waktu dekat ini. "Selain bandara, kami juga berencana membangun perumahan di kawasan itu," ucapnya.
Sejumlah syarat yang kini tengah disiapkan, ucap Nirwan, di antaranya hasil survei topografi dan penyelidikan tanah. Hal itu dibutuhkan untuk studi kelayakan dan studi rencana induk pembangunan bandara yang nantinya dilakukan.
Bupati Takalar Burhanuddin Baharuddin menuturkan pembangunan bandara ini bakal membutuhkan waktu lima-sepuluh tahun. Menurut dia, pihaknya berharap pembangunan bandara berskala internasional ini mampu mendongkrak pendapatan masyarakat sekitar. "Jika izin prinsip sudah keluar, pengerjaan lahan bandara ini akan kami mulai. Kami target bandara ini sudah bisa rampung sekitar lima-sepuluh tahun ke depan," katanya.
Pengurus FIK KSM, Akhmad kudri menambahkan, penambangan pasir tersebut terkesan dipaksakan. Ironinya tokoh dan masyarakat Galesong tidak mengetahui akan ada penambangan. “Untuk itu, kami meminta DPRD Sulsel untuk merekomendasikan penghentian proses perizinan yang sementara masih berjalan, bahkan sebaiknya izin tersebut dicabut,” tandasnya.
Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Cipta Karya dan Tata Ruang Sulsel, Ayu menjelaskan, penambangan pasir yang dilakukan di Galesong, Galesong Utara, Galesong Selatan untuk kegiatan reklamasi kawasan CPI di pantai losari. “Ini sudah sesuai aturan,” akunya.
Kepala Dinas PLH Sulsel, Andi Hasbi Nur menambahkan rancangan Amdalnya sudah selesai dan perizinan beberapa perusahaan telah masuk tahapan. Dan dalam waktu dekat akan dilakukan penambangan.
Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Sulsel, Darmawansyah Muin menuturkan, setelah mendengar pendapat dari Instansi dan pihak terkait beserta FIK KSM, Formasi Negara. Komisi D menyampaikan dengan tegas Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah (RZWP3K) masih dalam pembahasan Ranperda di DPRD Sulsel, sehingga proses perizinan penambangan Galesong akan dihentikan sementara (hold/tahan), serta peninjauan kembali perizinan di Sanrobone.
“Proses perizinan tambang pasir Galesong harus di hold/tahan hingga persoalan izin ini sesuai ketentuan yang berlaku,”
Pemerintah Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, bakal mereklamasi sekitar 3.500 hektare laut di wilayah perairan yang terletak di Desa Ujung Baji, Kecamatan Sanrobone, Takalar. Hal itu dilakukan dalam rangka persiapan pembangunan bandara berskala internasional di Kabupaten Takalar.
Sekretaris Kabupaten Takalar Nirwan Nasrullah mengatakan pihaknya mulai melengkapi syarat administrasi pengajuan izin prinsip ke Kementerian Perhubungan. Termasuk izin peruntukan lahan (IPL) di lokasi pembangunan bandara tersebut. "Kami juga sudah melakukan ekspose dengan pihak investor," ujarnya.
Proyek reklamasi di kawasan CPI di beranda Kota Makassar akan dikerjakan oleh PT Yasmin bersama PT Ciputra yang tekenal itu. Luas laut yang akan ditimbun 151 hektare. Hasil penimbunan akan dibagi dua dengan pihak swasta dan Pemprov Sulsel. Swasta akan mendapatkan luas lahan 101 hektare dan Pemprov peroleh 50 hektare.
Ada dua yang menjadi muara reklamasi ini, berdiri Wisma Negara dan Masjid Raya Sulsel, dua ikon ini akan menjadi domain Pemprov sedang sisanya di 101 hektar akan melahirkan skenario bisnis tentu saja.
Siapa mau buang duit ke laut tanpa siasat fulus di baliknya? Menjual ruang-ruang perkantoran, kamar istirahat, ruang rekreasi dan kita, warga, rakyat, pengunjung harus mengorek isi dompet dan segala macam transaksi ‘sebagai si empunya dan si pedagang’. Maka lahirlah ambisi mengeruk pasir di dasar laut Galesong Raya dan memindahkannya demi hasrat modernitas di utara ini. Terbetik kabar rencana pertambangan pasir seluas 1.000 hektar. Ini plot satu perusahaan, masih ada 4 yang lain.
Kebutuhan timbunan berjutakubik tanah dan pasir nampaknya tak bisa diharap dari Gowa belaka, dasar laut Takalar pun jadi incaran.
***
Sore, 3 April 2017, mendung menggelayut di atas Kampung Bayowa, Desa Galesong Kota, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Tiga orang anak menghadang angin barat yang berhembus dan melepas layang-layang. Mereka bermain di atas tanggul yang usianya tidak kurang lima tahun. Di belakangnya, gelombang laut bulan Maret memukul tanggul bertalu-talu. Di utara, beberapa warga bermain kartu.
Sekitar 10 meter dari tempat duduk mereka, bagian tanggul sepanjang 5 meter telah ambruk. Air laut tumpah hingga ke bagian dalam. Di pantai belakang rumah Daeng Tayang, tempat bermain saya di ujung tahun 70an, terlihat tanggul telah memisahkan laut dan daratan. Teringat hamparan pasir sekira 20 meter ke barat yang kini tertutup air laut.
Penggerusan yang hebat sejak tahun 70an telah mengambil sebagian besar paras pantai Bayowa, salah satu solusinya adalah dengan membangun tanggul meski ini harus menguras isi laci Pemerintah Takalar dan Pemerintah Provinsi.
Di pantai Bayowa, kini hanya ada tanggul dan batu-batu yang diikat kawat baja. Di situlah tempat kami nun lampau bermain pasir, tiada lagi. Yang pernah tinggal dan bermain di sini pasti bisa merasakan perbedaan di pantai Bayowa ini. Apa yang hilang dan bagaimana waktu mengubahnya. Apatah lagi jika hasrat mengambil pasir itu untuk membangun wilayah lain dan mengabaikan dampak yang dahsyat pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan di sekitar tambang.
Begitulah, nurani kemudian bicara ketika terbetik rencana pertambangan di laut Galesong itu. Ini sungguh mengkhawatirkan.
Bukan hanya saya tetapi juga bagi Zain Daeng Tompo, warga Kampung Bayowa yang sore itu saya temui sedang duduk santai di teras rumahnya.
“Ih tenantu nacoco’,” katanya saat ditemui pada sore itu. Menurutnya itu tidak cocok. Alasannya, selama ini gelombang telah semakin kencang melanda pantai Bayowa. Meski ada tanggul yang telah dibangun namun ini tidak menyelesaikan persoalan. Apalagi telah ada bagian yang roboh seperti di belakang rumahnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Hamzah Daeng Ruppa, (30 th). Nelayan pancing (papekang) yang kerap beroperasi di sekitar Kepulauan Tanakeke, Sanrobengi hingga perairan Pulau Dayang-Dayangang ini mengaku pertambangan pasir pasti akan berdampak ke pantai Galesong terutama di Pantai Bayowa, hempasan gelombang akan semakin kuat ke pantai.
“Sekarang, perahu-perahu orang Bayowa dan Lanna’ dibawa ke muara sungai, sebagian harus diangkat ke atas batu,” katanya. Hamzah adalah nelayan yang acap beroperasi di sekitar pulau Dayang-Dayangang hingga perairan Kodingareng Lompo.
Hasyim Daeng Tasa’, pemancing lainnya mengaku bahwa saat ini khusus Bayowa dan Lanna’, ada seratusan nelayan yang beroperasi di sekitar laut Galesong hingga Takalar dan Makassar. “Mereka yang pakai perahu kecil, fiber, pemancing juku eja atau katamba,” katanya.
Nelayan-nelayan tersebut selama ini menyimpan perahu di sungai kecil yang membelah kota Galesong. Selebihnya harus diangkat dan disandarkan di tanggul dan halaman belakang rumah. Rumah-rumah di Bayowa, sebagian besar membelakangi laut.
“Penambangan pasir akan berdampak ke gelombang, pastimi,” kata Tasa’ yang lulusan SMP ini. Sebagai pemancing, Tasa’ hafal nama-nama taka’ atau rataan terumbu yang menjadi lokasi pancingnya.
“Ada Bone Mallonjo’, ada Batu Ambawa, Batu Le’leng hingga Taka Luara Kodingareng,” sebutnya. Sebagian lahan-lahan ini nampaknya akan menjadi sasaran pengerukan pasir. Seperti Hamzah, Tasa’ juga memilih beroperasi antara laut Galesong dan Pulau Dayang-Dayangang. Menurut Tasa’ selain daerah ini, nelayan-nelayan Galesong sering pula ke perairan sekitar Pulau Lanjukang dan Langkai.
Menurut Daeng Tasya’, gangguan di laut bagi nelayan Galesong bukan semata gelombang yang semakin besar tetapi parere’ atau minitrawl yang beroperasi antara perairan Makassar ke selatan hingga ke Pulau Sanrobengi. Mereka datang dari utara dan tak peduli dengan himbauan pemerintah untuk tidak menggunakan alat yang merusak ekosistem. Nelayan Galesong terkenal sebagai pemasang jaring atau lanra’, pemasang rakkang atau perangkap rajungan, terutama di Galesong Selatan.
Sudah dengar kabar rencana penambangan pasir seluas 1.000 hektar di laut Galesong dan Galesong Selatan? Tanyaku ke Tasa’.
“Kokkoro’ lampuru’mi antu,” katanya dalam bahasa Makassar, artinya, tergerus habislah itu (pantai).
Saya meninggalkan Kampung Bayowa ketika hujan mulai turun. Membayangkan peristiwa yang akan dihadapi perkampungan ini seperti kampung-kampung pesisir di wilayah lain. Silih berganti, antara menolak pertambangan pasir atau benam dan godaan para pemburu keuntungan karena mereklamasi laut, mengeruk pasir dan mengabaikan derita bagi yang lain, bagi yang terimbas dampak eksplorasi.
Pertambangan pasir pasti akan mengubah tensi dan arah gelombang. Galesong Raya yang meliputi Kecamatan Galesong Utara, Galesong dan Galesong Selatan yang selama ini telah lama dirundung abrasi pantai tentu akan terpapar dampak yang bisa jadi duakali lipat jika tambang pasir itu terjadi.
Terkait ide pertambangan pasir ini, nampaknya orang-orang harus dibuka matanya tentang gelombang yang ganas dan rumah warga yang terancam. Media TribunTakalar melaporkan pada tanggal 27 Desember 2016 lalu bahwa sedikitnya empat rumah di pesisir pantai di Dusun Kanaeng, Desa Bontokanang, Kecamatan Galesong Selatan, Takalar, terancam roboh karena abrasi.
Bukan hanya di Kanaeng, beberapa waktu lalu kawasan perkuburan di pantai Bontosunggu, Galesong Utara, telah dilahap lidah laut. Terjadi abrasi yang hebat sehingga tulang belulang manusia berserakan. Beberapa hatchery juga telah rubuh karena terjangan gelombang.
Masih banyak yang lain seperti yang terjadi di Desa Bontoloe dan sekitarnya. Hal inilah yang memunculkan kekhawatiran bahwa dimensi sosial, ekonomi dan ekologi sekitar Galesong akan terpapar aktivitas pertambangan pasir ini.
***
Isu reklamasi di Kota Makassar yang membutuhkan timbunan superbanyak tersebut sampai pula di telinga akademisi Universitas Hasanuddin. Pakar oseanografi Unhas Dr. Mahatma Lanuru mengatakan bahwa Galesong adalah daerah rawan abrasi karena pantainya tidak dilindungi pulau-pulau kecil, tidak banyak lagi mangrove, dan juga kurang landai. Jika pasir dikeruk, energi gelombang yang tiba di pantai akan semakin besar dan menyebabkan abrasi. Hal itu diungkapkannya saat menjadi pembicara pada diskusi bertajuk Marine Policy Corner, di Warkop Phinisita, Jl Hertasning Makassar, Senin (28/3/2017).
Menurut lulusan S2 dan S3 Kelautan Jerman itu, hal ini tentunya dapat membuat masyarakat di pesisir Galesong harus mengungsi jika abrasi semakin besar. Hal senada juga disampaikan oleh pakar ekologi laut Unhas, Dr Syafyudin Yusuf. Dia mengatakan bahwa kehadiran tambang pasir mengancam keberlangsungan ekosistem laut, penurunan organisme, dan peningkatan kekeruhan air.
“Jika itu terjadi, dampaknya akan sangat besar. Kekeruhan air laut akan menyebabkan degradasi ikan, yang akan menyebabkan hilangnya mata pencaharian nelayan sekitar,” kata dia.
Sumber : https://denun89.wordpress.com/2017/04/04/hasrat-reklamasi-dan-tanggapan-dari-selatan/