Monday, April 18, 2016

PENGARUH-PENGARUH TERJADINYA KEMISKINAN



1. Pengaruh Sumber Pembiayaan terbatas terhadap kemiskinan


Sistem Kesehatan memberikan pelayanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan, yang dapat membuat perbedaan yang besar/banyak pada kesehatan masyarakat. Bagaimanapun juga untuk memenuhi atau mendapatkan pelayanan tersebut bisa menimbulkan kebutuhan individu menjadi pengeluaran catastrophic dari pendapatan mereka, dan beberapa rumah tangga terpaksa menjadi miskin karenanya. Lebih jauh lagi karena dampak negatifnya beberapa rumah tangga tidak jadi berobat dan terus menderita karena sakitnya. Menurut WHO, 2003, dinyatakan apabila suatu keluarga membelanjakan pendapatannya diluar makan dan minum lebih dari 40% dari total pengeluarannya, makan akan dikategorikan keluarga tersebut menjadi katastropik atau bangkrut akibat pengeluaran kesehatannya. Secara nominal, biaya kesehatan yang melampaui ambang batas tersebut akan mengurangi nilai nominal pendapatan keluarganya (Household Income), sehingga ada beberapa keluarga yang secara statistik akan berada pada situasi kemiskinan (dibawah ambang batas kemiskinan nasional ataupun internasional 1.08$ per hari)


Pemerataan dalam bidang pembiayaan kesehatan adalah salah satu bagian dari tujuan pokok dari sistem kesehatan. Keadilan dalam kontribusi pembiayaan dan perlindungan terhadap resiko keuangan berdasarkan dugaan bahwa sebaiknya rumah tangga dapat membayar bagian yang secara adil. Apa yang merupakan bagian yang adil tergantung pada perkiraan/dugaan normatif masyarakat bagaimana sistem kesehatan dapat membiayainya. Namun demikian disetiap negara, keadilan dalam kontribusi pembiayaan mencakup 2 aspek yang penting yaitu risk-polling diantara sehat dan sakit dan pembagian resiko (risk-sharing) antar kemakmuran atau tingkat pendapatan. Penggabungan resiko merupakan dasar pemikiran kontribusi untuk biaya kesehatan adalah perawatan ketika sakit. Jadi setiap orang yang sakit tidak ditimpa beban ganda karena sakit dan karena ongkos perawatan kesehatan. Sepanjang masa setiap orang menginginkan manfaat pengamanan keuangan dari penggabungan resiko ketika dia sakit. Serupa dengan berbagi resiko (risk-sharing) berhubungan dengan alasan /dasar pemikiran bahwa adil tidak berarti kontribusi yang dari semua, tanpa memperhatikan pendapatan atau kemakmuran(kekayaan), tetapi kontribusi menjadi lebih besar bagi mereka yang mempunyai sumber-sumber keuangan yang lebih. Dalam kenyataannya menanamkan dugaan-dugaan keadilan dalam pembiayaan merupakan satu langkah ke depan untuk mencegah pengeluaran yang catastrophic ketika salah satu anggota keluarga sakit.






2. Pengaruh Pengangguran terhadap kemiskinan di Indonesia


Bagi sebagian besar masyarakat, yang tidak mempunyai pekerjaan tetap atau hanya part-time selalu berada diantara kelompok masyarakat yang sangat miskin. Masyarakat yang bekerja dengan bayaran tetap di sektor pemerintah dan swasta biasanya termasuk diantara kelompok masyarakat kelas menengah keatas. Setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan adalah miskin, sedangkan yang bekerja secara penuh adalah orang kaya. Karena kadangkala ada juga pekerja di perkotaan yang tidak bekerja secara sukarela karena mencari pekerjaan yang lebih baik dan yang lebih sesuai dengan tingkat pendidikannya. Mereka menolak pekerjaan-pekerjaan yang mereka rasakan lebih rendah dan mereka bersikap demikian karena mereka mempunyai sumber-sumber lain yang bisa membantu masalah keuangan mereka. Orang-orang seperti ini bisa disebut menganggur tetapi belum tentu miskin. Sama juga halnya adalah, banyaknya individu yang mungkin bekerja secara penuh per hari, tetapi tetap memperoleh pendapatan yang sedikit. Banyak pekerja yang mandiri disektor informal yang bekerja secara penuh tetapi mereka sering masih tetap miskin.


Dian Octaviani (2001) mengatakan bahwa sebagian rumah tangga di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji atau upah yang diperoleh saat ini. Hilangnya lapangan pekerjaan menyebabkan berkurangnya sebagian besar penerimaan yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Lebih jauh, jika masalah pengangguran ini terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah (terutama kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan sedikit berada di atas garis kemiskinan), maka insiden pengangguran akan dengan mudah menggeser posisi mereka menjadi kelompok masyarakat miskin. Yang artinya bahwa semakin tinggi tingkat pengganguran maka akan meningkatkan kemiskinan.


Bedasarkan hasil perhitungan menggunakan SPSS, didapatkan hasil korelasi antara dua hubungan yaitu antara variable kemiskinan dengan pengangguran dari table correlation. pearson correlation menunjukan hubungan pengangguran dengan pengangguran menunjukan angka 1000 atau 10 % .sedangkan, hubungan kemiskinan dengan kemiskinan menunjukan angka 0,919 atau 91,1 % dengan sampel populasi berjumlah 6 tahun. Artinya jika pengagguran naik sebesar satu persen maka kemiskinan akan naik sebesar 9,19 % dan jika kemiskinan turun satu persen maka pengangguran akan turun sebesar 91,9 %.






Dari table model summaryb, Besarnya koefisien determinasi dari tahun 2006 sampai 2011 adalah sebesar 0,844 atau sebesar 84,4 % variable total kemiskinan dapat dijelaskan oleh variable kemiskinan, sedangkan sisanya 15,6 % dijelaskan oleh selain kemiskinan.






Dari table ANOVAb (Uji F) , dapat dilihat bahwa secara simultan atau bersama-sama variable independent memiliki tingkat signifikan sebesar 0,010 , angka signifikan ini lebih kecil dari alpha 5% atau F sebesar 21,720 dimana diperoleh table ANOVAb dengan alpha 5 % dan df1 = 1, df2 = 4 sebesar ± 8,49, maka dapat disimpulkan secara signifikan variable independent (kemiskinan) berpengaruh secara signifikan terhadap variable dependent (pengangguran).






Dari table koefisien dari tahun 2006 sampai 2011 ditemukan Y = 1933774.172+0,485X nilai 1933774.172 mrupakan nilai konstan (a) yang menunjukan bahwa jika tidak ada kemiskinan, maka total kemiskinan adalah 1933774.172.koefisien regresi kemiskinan sebesar 0,485X menyatakan bahwa setiap ada penambahan 1 juta jiwa maka aka nada kenaikan total kemiskinan sebesar 0,485. Uji t yang digunakan untuk menguji signifikan konstanta dari dari variable independent pada kolam signifikan. Variable kemiskinan mampunyai angka signifikan dibawah 0,05 yaitu 0,01.






Dari hasil uji normalitas pada chart normal p-p plot regression standardized residual, terlihat bahwa sebaran data pada chart diatas bisa dikatakan tidak tersebar disekeliling garis lurus tersebut ( terpencar dari garis lurus ) maka apat dikatakan bahwa persyaratan normalitas tidak bisa dipenuhi.


Dari hari hasil uji heteroskedastisitas, terlihat bahwa pada model ini tidak terditeksi gejala heteroskedastisitas karena tidak ada titk-titik yang berdekatan dalam artian tidak tejadi kesamaan varian dari residual satu pengamatan kepengamatan yang lain .






3. Pengaruh Kesejahteraan/Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan






Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur prestasi ekonomi suatu negara. Dalam kegiatan ekonomi sebenarnya, pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan ekonomi fisik. Beberapa perkembangan ekonomi fisik yang terjadi di suatu negara adalah pertambahan produksi barang dan jasa, dan perkembangan infrastruktur. Semua hal tersebut biasanya diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara dalam periode tertentu.


Menurut Todaro dan Smith (2006), ada tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu :


· Akumulasi modal termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari pendapatan sekarang di tabung yang kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa mendatang. Investasi juga harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni berupa jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi, demi menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam pembinaan sumber daya manusia dapat meningkatkan kualitas modal manusia, sehingga pada akhirnya akan membawa dampak positif yang sama terhadap angka produksi, bahkan akan lebih besar lagi mengingat terus bertambahnya jumlah manusia. Pendidikan formal, program pendidikan dan pelatihan kerja perlu lebih diefektifkan untuk mencetak tenaga-tenaga terdidik dan sumber daya manusia yang terampil.


· Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angka kerja (labor force) secara tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.


· Kemajuan Teknologi. Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi, yakni :


ü Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama.


ü Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labor saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau input modal yang sama


ü Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi jika penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada secara lebih produktif.






Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah.






Menurut Kuznet (Tulus Tambunan, 2001), pertumbuhan dan kemiskinan mempunyai korelasi yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Selanjutnya menurut penelitian Deni Tisna (2008) menyatakan bahwa PDRB sebagai indikator pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan.






Siregar (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Adapun secara tidak langsung, hal itu berarti diperlukan peran pemerintah yang cukup efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi didapatkan dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur.






4. Pengaruh Kesenjangan Antar Wilayah Terhadap Kemiskinan






Dua masalah besar yang umumnya dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pandapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) (Tambunan, 2001).


Di negara-negara sedang berkembang, perhatian utama terfokus pada dilema komplek antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sulit diwujukan bersamaan. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankanya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan Grossnational Product (GNP) yang tinggi dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang tinggi merupakan pilihan yang harus diambil. Di Indonesia pada awal orde baru hingga akhir tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintah orde baru lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi.


Kondisi ini merupakan tantangan pembangunan yang harus kita hadapai mengingat masalah kesenjangan itu dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat menyulitkan kita dalam melaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang berlandaskan pemerataan. Ketimpangan merupakan permasalahan klasik yang dapat ditemukan dimana saja. Oleh karena itu ketimpangan tidak dapat dimusnahkan, melainkan hanya bisa dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diterima oleh suatu sistem sosial tertentu agar keselarasan dalam sistem tersebut tetap terpelihara dalam proses pertumbuhannya.


Permasalahan ketimpangan pendapatan tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kemiskinan, bisaanya terjadi pada negara miskin dan berkembang. Menurut Lincolin Arsyad (1997), banyak negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang semacam itu hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan.


Kemiskinan memang tidak pernah berhenti dan tidak bosan menghancurkan cita-cita masyarakat Indonesia khususnya para generasi muda. Kemiskinan sudah banyak “membutakan” segala aspek seperti pendidikan. Sebagian dari penduduk Indonesia lantaran keterbatasan ekonomi yang tidak mendukung, oleh contoh kecil yang terjadi di lapangan banyak anak yang putus sekolah karena menunggak SPP, siswa SD yang nekat bunuh diri karena malu sering ditagih oleh pihak sekolah, anak di bawah umur bekerja keras dengan tujuan memberi sesuap nasi untuk keluarganya, dll.


Sekarang kemiskinan juga sudah memberikan dampak mulai dari tindak kriminal, pengangguran, kesehatan terganggu, dan masih banyak lagi. Kemiskinan memang dapat menyebabkan beragam masalah tapi untuk sekarang masalah yang paling penting adalah bagaimana caranya anak-anak kecil yang sama sekali tidak mampu dapat bersekolah dengan baik seperti anak-anak lainnya. Pertama itulah masalah yang harus dipecahkan oleh pemerintah karena jika masalah itu tidak dapat dibereskan maka akan muncul masalah-masalah baru yang lebih banyak lagi. Dan juga banyak orang-orang miskin terkena penyakit tapi mereka sulit untuk berobat ke dokter karena mahal, walapun pemerintah sudah memberikan kartu kemiskinan tapi itu tidak menjamin di rumah sakit.


Perkembangan pembangunan suatu daerah dapat dipantau dari indikator makro pembangunan diantaranya kemiskinan. Selama periode Maret-September 2011 persentase penduduk miskin di Jawa Timur turun 0,38 poin persen atau menjadi 13,85 persen di bulan September 2011. Angka kemiskinan sebesar 13,85 persen ini besarannya diatas target kemiskinan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (15,0-15,5 persen).


Penduduk miskin selama periode Maret-September 2011 turun sebanyak 128,9 ribu penduduk atau menjadi 5.227,31 ribu penduduk di bulan September 2011. Penurunan persentase kemiskinan yang percepatannya tidak secepat tahun-tahun sebelum atau cenderung melandai (Gambar 3.1) diduga lebih disebabkan hardcore poverty yang terjadi.






5. Pengaruh Kualitas SDM Terhadap Kemiskinan






Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita tergolong tidak mampu, dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin.kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya untuk masuk sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur 7 tahun atau lebih wajib diterima sebagai murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk masuk sekolahdasar adalah berdasarkan umu. Nyatanya, pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga msyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Bagi masyarakat yang kaya atau orang tua yang kaya, anakny akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.


Untuk masuk kesekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab pada negara yang sudah 60 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya yang menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan di negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara-negara yang lain.


Dengan demikian dan dibekali ilmu pengetahuan, seorang warga negara akan memiliki harga diri, dapat menambah wawasan, sehingga ia menjadi warga negara yang tidak picik, mampu menerima pembaruan, dan meningkatkan kemampuannya. Apabila praktik-praktik pungutan yang diadakan di sekolah-sekolah tetap dibiarkan dan tidak diterbitkan, maka akan bertambah banyaklah deretan anak-anak yang tidak bersekolah karena tidak mampu. Dan hanya anak orang kaya saja yang akan memperoleh pendidikan dari tingkat terbawah sampai ke tingkat yang tinggi. Akibat dari itu semua, negeri ini akan dihuni golongan kaya dan terdidik yang akan membentuk kelas tersendiri dalam masyarakat.


Disisi lain pihak akan terdapat keluarga miskin dan tidak terdidik yang merupakan golongan terbesardi negeri ini. Jika itu terjadi, alangkah rusaknya struktur masyarakat di negeri ini, yang berakibat terjadinya kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Anehnya, kejadian-kejadian itu justru terjadi di era otonomi daerah, yang seharusnya ada perubahan mampu menuju kebaikan dalam pelaksanaan proses pendidikan.


Pendidikan sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Namun, biaya yang mahal justru sangat menghambat berkembangnya pendidikan di indonesia. Hal ini dikarenakan kondisi sosial ekonomi sebagian besar masyarakat indonesia termasuk rendah, atau dengan kata lain masih banyak orang miskin di negara indonesia yang menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yang mereka terima.


Dampak kemisikina terhadap pendidikan sangat besar. Jika kemiskinan tidak segera diatasi maka untuk mencapai pendidikan yang bermutu sangat sulit, karena di zaman yang modern seperti sekarang ini persaingan sangat ketat, segala sesuatu membutuhkan sumber daya yang berkualitas dan mampu bersaing. Jika tidak maka akan sulit. Bagi masyarakat yang mampu mungkin tidak maslah, karena karena mereka memiliki cukup materi untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan denagn berbagai jalan salah satunya dengan kursus.


Semua warga negara memiliki hak yang sama yaitu berhak untuk menuntut ilmu. Tetapi karena kemisikinan hak tersebut kemudian terabaikan. Lebih ironis lagi, banyak anak-anak yang rela bekerja untuk membantu orang tuanya sehingga waktu belajar mereka habis digunakan untuk bekerja.






6. Pengaruh Teknologi Terhadap Kemiskinan


Dalam kehidupan sehari-hari kita hidup tidak dapat terlepas dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kedua hal tersebut akan selalu mengikuti kita dan berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Tentunya perkembangan zaman yang berjalan dengan cepat sesuai dengan dampak dari era globalisasi membuat Ilmu pengetahuan dan Teknologi pun berkembang dengan pesat, bahkan perkembangannya diluar perpikiran dan nalar kita.


Tentunya kedua hal ini juga berdampak pada kehidupan masyarakat baik secara tidak langsung maupun secara langsung. Dalam kehidupan bermasyarakat baik Ilmu Pengetahuan maupun Teknologi sangat penting dimiliki setiap individu yang ada.


Ilmu Pengetahuan dianggap enting karena Ilmu Pengetahuan merupakan dasar pemikiran seseorang. Tentunya apabila seseorang memiliki Ilmu pengetahuan yang tinggi maka dasar pemikiran orang itu pun semakin tinggi, sehingga dalam bermasyarakat selalu memikirkan sebab dan akibat yang akan terjadi, tentunya orang seperti ini akan bertindak secara hati-hati agar tidak dirugikan. Selain itu pula seseorang yang memiliki Ilmu pengetahuan yang tinggi akan melihat sebuah masalah sebagai sebuah objek walaupun masalah itu bukan objek empiris, sehingga penalaran terhadap masalah dalam masyarakat akan lebih baik dibandingkan dengan orang berpengatahuan rendah.


Selain Ilmu Pengetahuan, Teknologi yang semakin berkembang mempengaruhi sosial masyarakat. Perkembangan Teknologi yang semakin maju membuat semua kegiatan menjadi mudah, bahkan tanpa harus berpindah tempat. Hal ini tentunya berdampak pada sosialisasi pada masyarakat, orang-orang yang sudah dimanjakan oleh teknologi membuat individu tidak lagi memikirkan masyarakat yang ada disekitar. Mereka akan lebih peduli terhadap kepentingannya sendiri dan tidak memikirkan dampak negatif yang akan terjadi, sehingga dampak negatifnya akan terasa pada orang lain yang ada disekitarnya.


Dari kedua hal tersebut tentunya akan mempengaruhi kondisi kehidupan, yaitu ketumpang tindihan dalam masyarakat, dalam artian bahwa adanya ketidak selarasan dalam masyarakat dimana orang kaya tambah kaya sedangkan yang miskin tambah melarat.


Kemiskinan merupakan dampak besar dari pengaruh Ilmu pengetahuan dan Teknologi, mengapa demikian?


Kita bisa membandingkan antara orang kaya dengan miskin. Orang-orang kaya biasanya memiliki ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang miskin, karena orang kaya menjadikan pengetahuan sebagai kebutuhan yang pertama sedangkan orang miskin tidak demikian, sehingga orang kaya jauh bertindak lebih baik saat bersosialisasi baik dalam lingkungannya ataupun dalam dunia kerja dan juga orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan pastinya dalam hidupnya penuh perhitungan dan tidak mengandalkan keberuntungan berbeda dengan orang miskin. Orang pada tingkatan miskin ini bertindak kadang tanpa perhitungan dan juga sangat mengandalkan keberuntungan dalam bertindak karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai dengan tingkatan yang lebih tinggi dalam sosialisasi sehingga mereka hanya dapat pasrah, yang diartikan bahwa mereka berusaha namun hasilnya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan.


Selain ilmu pengetahuan, teknologi pula mempengaruhi kemiskinan. Pengaruh teknologi ini terjadi karena orang-orang yang memiliki teknologi yang tinggi akan mengenyampingkan orang yang tidak memiliki teknologi yang tinggi. Contohnya dalam masyarakat, sebuah pabrik sebelumnya menjadi parik padat karya namun seiring kemajuan teknologi pabrik tersebut membeli teknologi sehingga orang-orang yang bekerja sebelumnya akan digantikan oleh teknologi yang baru, dan untuk orang-orang yang bekerja tersebut akan diberhentikan. Tentunya hal ini akan berdampak dengan naiknya pengangguran. Pengangguran merupakan awal dari kemiskinan. Sehingga teknologi sangat mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.


Dari kedua Hal tersebut dapat kita lihat Pengaruh Ilmu Pengatahuan dan Teknologi terhadap kemiskinan, sehingga Ilmu pengetahuan dan Teknologi merupakan dua hal yang harus kita miliki, karena kedua hal ini lah yang akan menunjang kita baik dalam sosial maupun ekonomi.


7. Pengaruh Infrastruktur Terhadap Kemiskinan


Pembangunan sektor infrastruktur merupakan sektor prioritas yang harus memperoleh perhatian dalam rangka mengatasi kemiskinan. Bagi para investor atau pelaku pasar termasuk para arsitek pembangunan, core value daya saing suatu negara dalam menarik investasi diukur dari daya tarik dan kinerja infrastruktur, baik infrastruktur dasar, sains maupun infrastruktur teknologi. Miskin dan rentannya infrastruktur suatu negara berdampak terhadap kehidupan suatu masyarakat.


Hal ini dapat dipahami karena kebijakan infrastruktur memberika dampak positif terhadap percepatan pertumbuhan Selanjutnya strategi investasi infrastruktur dapat memacu pertumbuhan sosial ekonomi dan mengentaskan kemiskinan.


Sejumlah riset ilmiah mengenai infrastruktur di negara-negara miskin menunjukkan bahwa negara negara miskin memerlukan penggunaan sekitar 9 persen dari PDB untuk dapat mengoperasikan, memelihara atau merawa dan membangun infrastruktur jika negara miskin tersebut hendak meraih level millennium development goals (MDGs) (Antonio Estache, 2006).


Indonesia meski bukan kategori negara miskin, kondisi infrastrukturnya juga masih memprihatinkan. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur, fisik dan nonfisik kurang memadai. Padahal kondisi ekonomi yang tengah berkembang seperti Indonesia mutlak memerlukan pengembangan infrastruktur di berbagai sektor.


Ada beberapa hal yang perlu dibenahi terkait dengan pengembangan infrastruktur yakni perlunya memperbaiki kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintah. Perbaikan kapasitas pemerintahan dan iklim investasi sangat penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dan investor dalam meningkatkan investasi infrastruktur guna mendukung kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia.


Selain isu spending infrastructure dalam mendukung investasi infrastruktur, juga perlu dipertajam isu seberapa besar strategi ideal yang harus dipenuhi agar rakyat miskin memiliki akses terhadap infrastruktur dan memenuhi target millennium development goals (MDGs). Seberapa besar pengentasan kemiskinan untuk setiap penambahan investasi, khususnya pengentasan kemiskinan pada rakyat pedesaan dan perkotaan.


Untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan, desain atau arah pengembangan infrastruktur hendaknya tidak lagi bias ke arah perkotaan, tetapi diarahkan juga ke pedesaan atau pertanian. Alasannya pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat terjadi karena sektor pertanian memiliki keterkaitan (lingkage) dengan sektor lain baik yang di hulu maupun di hilir.


Selama ini perhatian pemerinah terhadap infrastruktur masih terkendala rendahnya pembiayaan dalam APBN. APBN terlalu berat ke biaya pegawai dan biaya subsidi. Dalam APBN 2012, belanja pegawai mencapai Rp215,73 triliun atau 22,36% dari total belanja pemerintah pusat Rp965 triliun, dan subsidi energi Rp168,5 triliun (17,47%).


Adapun belanja barang Rp142,2 triliun (14,74%) dan belanja modal Rp168,2 triliun (17,44%). Pemerintah mengalokasikan dana Rp168,2 triliun dalam belanja modal di APBN 2012 dimana sebagian besar akan digunakan untuk menunjang pembangunan infrastruktur. Alokasi tersebut, naik sekitar Rp27,2 triliun atau sebesar 19,3% dibandingkan alokasi dalam APBN-P 2011.


Sedangkan dari sisi komposisi anggaran, nilai tersebut sama dengan 11.85% dari total pagu anggaran belanja negara yang nilainya mencapai Rp1.418,5 triliun. Berdasarkan prioritas belanja, anggaran itu selain akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dasar, anggaran tersebut juga akan digunakan untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur lainnya seperti infrastruktur energi, ketahanan pangan, dan komunikasi.


Subsidi energi yang besar membuat alokasi anggaran infrastruktur menjadi terbatas. Karena itu, anggaran belanja subsidi perlu direalokasikan untuk infrastruktur. Reformasi anggaran perlu dilakukan, khususnya terkait dengan membengkaknya alokasi anggaran subsidi energi. Persoalan sekarang adalah bagaimana agar subsidi untuk sektor sektor produktif seperti untuk petani atau pertanian dan untuk sektor yang bersifat padat karya harus lebih di tingkatkan nilainya lagi.


Pemerintah juga perlu memberikan alokasi anggaran bagi terwujudnya pembiayaan yang menjangkau rakyat miskin atau kalangan pedesaan, yang selama ini tidak dilirik oleh sektor perbankan karena tidak bankable, melalui terbentuknya lembaga pembiayaan mikro seperti BMT atau koperasi.


8. Pengaruh Rendahnya Pengelolaan/Organisasi Terhadap Kemiskinan


Kemiskinan tarkadang diidentikkan dengan timbulnya kelaparan yang menjadi salah satu permasalahan distribusi pangan yang tidak merata. Salah satu lembaga yang mengurusi masalah pangan di Indonesia adalah Bolog. Namun kebijakan di sektor pangan mengalami liberalisasi besar-besaran sejak reformasi 1998. Pasar pangan yang semula tertutup dan sebagian besar pengadaannya dimonopoli oleh Bulog, kini sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Ketidakmampuan bersaing dengan harga pangan murah di pasar dunia membuat pengambil kebijakan menmpuh jalur pendek yaitu melalui mekanisme impor.[5]


Atas deskan IMF, reformasi kelembagaan Bulog terus berlanjut dengan diubahnya status Bulog dari LPND (Lembaga Pemerintah Non-Departemen) menjadi Perusahaan Umum (Perum) Bulog. Setelah menjadi Perum, Bulog kemudian melegalkan aktivitas untuk meraih keuntungan. Sehingga, tidak jelas lagi lembaga mana yang berfungsi menyangga pangan nasional dan bertindak sebagai wakil pemerintah guna melaksanakan kebijakan melindungi petani dari fluktuasi harga tinggi. Tidak jelas lagi lembaga mana yang akan melindungi warga miskin. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini adalah missing institusion sistem kelembagaan pangan nasional.[6]


Sesuai dengan pasal 46 UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan, tugas-tugas sosial yang diemban oleh Perum Bulog adalah tugas pemerintah khususnya dalam pengelolaan cadangan pangan. Dengan adanya liberasi pangan tersebut, terjadi keterputusan kelembagaan yang membuat berbagai kebijakan yang dirakit pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi starategis yang melekat dalam sistem ketahanan pangan menjadi tidak berjalan.[7] Keterputusan inilah yang semakin memperburuk kondisi petani lokal dalam fungsinya sebagai salah satu elemen penyedia pangan. Kebijakan impor beras yang diambil pemerintah misalnya. Hal ini semakin memiskinkan kondisi petani ketika produksi pangan mereka tidak bisa bersaing dengan produk pangan yang diimpor pemerintah. Bisa juga dikatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam mensejahterakan rakyat tidak sejalan dengan kebijakan politiknya. Dari sini, terlihat bahwa kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan kelembagaan, khususnya dalam hal kelembagaan pangan.


Kemiskinan di Indonesia tidak begitu saja muncul pada masa sekarang. Sejak masa kolonial, banyak rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan akibat kolonialisme dan imperialisme. Bahkan sampai sekarang, kolonialisme dan imperialisme telah menemukan wajah dan bentuknya yang baru dengan dibuatnya berbagai kebijakan pembangunan. Pemerintah tidak diam saja menanggapi hal ini. Banyak usaha yang telah dicobakan untuk melaksanakan program pengentasan kemiskinan. Sebagian besar berhasil untuk mengurangi tingkat kemiskinan namun sebagian program tidak bisa berjalan secara optimal.


Kemiskinan sudah menjadi masalah sosial yang sangat mendesak untuk diselesaikan. Kemiskinan di Indonesia semakin meningkat sejak adanya krisis yang mulai terjadi tahun 1998. Data yang dicatat BPS mencatat bahwa antara tahun 1976-1988, besarnya kemiskinan sebagaimana diukur oleh indikator timbulnya kemiskinan adalah 24,23% (49,5 juta). Di luar jumlah ini, sekitar 17,6 juta tinggal di wilayah perkotaan (21,92%) dan 31,9 juta (25,72%) tinggal di wilayah pedesaan. Pada tahun 1996 angka kemiskinan masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.


Sedangkan data yang dilansir BPS tentang Indikator Perekonomian bulan November 2007 menyebutkan bahwa penduduk miskin Indonesia pada Maret 2007 tercatat sebanyak 37,17 juta jiwa. Jika dibanding dengan kondisi pada bulan Maret 2006 yang berjumlah 30,39 juta orang, berarti ada penurunan sebanyak 2,13 juta orang. Meskipun terjadi penurunan, angka-angka tersebut tetap mengindikasikan bahwa tingkat kemiskinan masih tinggi yang berarti pelaksanakan program-program pengentasan kemiskinan kurang memperlihatkan keberhasilannya.


Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal ini yang berkaitan dengan kemiskinan merupakan salah satu bentuk kebijakan sosial. Kebijakan sosial adalah suatu aspek dan objek kajian yang memiliki ruang lingkup luas dan global. Seperti yang terdapat dalam definisi tersebut, kebijakan sosial berfungsi untuk mencapai kesejahteraan bagi penduduk di suatu negara. Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan tanggungjawab ini kepada setiap departemen pemerintahan, namun ada pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah ini. (Suharto, 1997).


Selain melihat kemiskinan dalam dimensi global, kemiskinan juga bisa dilihat dalam dimensi makro yaitu adanya kesenjangan antara daerah yang minus (desa) dan daerah yang surplus (kota) serta strategi pembangunan yang kurang tepat dengan tidak memperhatikan kondisi sosial-demografis masyarkat Indonesia. Di sinilah peran pemerintah sebagai sebuah lembaga yang terstruktur sangat terlihat. Kemiskinan secara struktur, bisa terjadi karena faktor internal dan faktor eksternal yang melatarbelakangi kemiskinan. Faktor internal berasal dari perilaku setiap individu sedangkan faktor eksternal itu biasanya disebabkan oleh lingkunya ekonomi dan politik seperti kinerja dari lembaga pemerintah diantaranya: pemerintah yang tidak adil, korupsi, paternalistik, birokrasi yang berbelit, dan sebagainya.


Secara kelembagaan, banyak sekali usaha pemerintah dalam hal pengentasan kemiskinan. Beberapa program yang telah dilakukan sedikit banyak telah berhasil mengurangi angka kemiskinan. Namun tidak sedikit pula program yang kurang berhasil diterapkan. Sebut saja program JPS (Jaring Pengaman Sosial) yang dilaksanakan sejak pertengahan 1998 ketika Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi. Program tersebut memiliki tujuan antara lain adalah untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin dengan mencakup aktivitas dalam bidang keamanan pangan, pendidikan perlindungan sosial, kesehatan dan pekerjaan umum padat karya. Dalam implementasinya, banyak kritik yang kemudian muncul menyangkut permasalahan transparansi lembaga penyalur dana bantuan. Program JPS kebanyakan tidak diterima oleh kelompok yang ditargetkan. Banyak LSM yang kemudian berargumen bahwa pemerintah menggunakan anggaran untuk maksud-maksud politis. Oleh karena itu merela juga mendesak pemerintah dan lembaga donor internasional untuk menghentikan program tersebut.


Program lain yang pernah diterapkan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan adalah program BLT (Bantuan Langsung Tunai). Sejauh ini, banyak program pengentasan kemiskinan hanya menggunakan pendekatan instan. Secara sepintas, program BLT memang menjanjikan solusi praktis dan pragmatis dalam pengentasan kemiskinan. Tetapi, pendekatan yang digunakan dalam program BLT ternyata menimbulkan persoalan lain. Misalnya, persoalan ketergantungan penduduk miskin pada pemberi bantuan. Akibatnya penduduk miskin tidak memiliki keinginan sama sekali untuk memperbaiki taraf kehidupannya. Mereka merasa senang dengan kondisi yang dialami karena pasti ada pihak yang akan memberikan bantuan. Kesalahan bisa dikatakan berasal dari lembaga pemerintah yang selalu memberi ikan dan bukan memberi kail bagi masyarakat miskin sehingga menyebabkan masyarakat justru enggan beranjak dari keadaan ekonomi mereka yang miskin.




0 comments:

Post a Comment

Teknik Planologi 014 Universitas Bosowa Makassar

Teknik Planologi 014 Universitas Bosowa Makassar

Popular Posts

Blogger templates