KAJIAN PENGELOLAAN DARATAN PESISIR BERBASIS ZONASI DI KABUPATEN WAKATOBI
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR
BELAKANG
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas
17.508 pulau dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km dan merupakan pantai
terpanjang ke dua di dunia setelah Kanada, maka persoalan pantai di Indonesia
menjadi topik yang sangat penting untuk pengambangan dan pembangunan di
Indonesia. Pantai adalah jalur pertemuan antara darat dan laut. Daerah pantai
ini mempunyai ciri geosfer yang khusus, kearah laut dipengaruhi oleh fisik laut
dan sosial ekonomi bahari, sedangkan kearah darat dibatasi oleh pengaruh proses
alami dan kegiatan manusia terhadap lingkungan darat.
Luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta km2 dan luas
perairan laut kurang lebih 7,9 juta km2 (Encarta, 1998; Boston, 1996). Sebanyak
22 persen dari total penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir. Ini berarti
bahwa daerah pesisir merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi nasional
melalui kegiatan masyarakat seperti perikanan laut, perdagangan, budidaya
perikanan (aquakultur), transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan
sebagainya. Seperti diketahui bahwa secara biologis wilayah pesisir merupakan
lingkungan bahari yang paling produktif dengan sumber daya maritim utamanya
seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea
grass beds), estuaria, daerah pasang surut dan laut lepas serta sumber daya
yang tak dapat diperbaharui lainnya seperti minyak bumi dan gas alam.
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara
daratan dan lautan dimana batasnya dapat didefinisikan baik dalam konteks
struktur administrasi pemerintah maupun secara ekologis. Batas ke arah darat
dari wilayah pesisir mencakup batas administratif seluruh desa (sesuai dengan
ketentuan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan otonomi Daerah, Depdagri)
yang termasuk dalam wilayah pesisir menurut Program Evaluasi Sumber Daya
Kelautan (MERP). Sementara batas wilayah ke arah laut suatu wilayah pesisir
untuk keperluan praktis dalam proyek MERP adalah sesuai dengan batas laut yang
terdapat dalam peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dengan skala 1:50.000
yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal), (Dahuri dkk.,1996). Secara umum wilayah pesisir didefinisikan
sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir
meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi
oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin;
sedangkan kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran.
Isu-isu pokok utama di kawasan pantai (Kay dan Alder, 1999;
Kodoatie dkk., 2007) adalah pertumbuhan penduduk yang cukup pesat yang
cenderung tinggal dan beraktifitas di kawasan pantai. Sebagai tempat yang
strategis pantai dimanfaatkan untuk berbagai hal berupa eksploitasi sumber daya
perikanan, kehutanan, minyak, gas, tambang dan air tanah dan lain-lain. Pantai
sebagai daerah wisata, konservasi dan proteksi biodiversity. Pantai digunakan
pula sebagai tempat perkembangan dan peningkatan infrastruktur antara lain
berupa transportasi, pelabuhan, bandara yang kesemuanya untuk memenuhi
peningkatan penduduk.
Banyaknya pemanfaatan dan berbagai aktifitas yang terus
berlangsung dampak negatif pun muncul. Dampak-dampak utama saat ini berupa
polusi, abrasi, erosi dan sedimentasi, kerusakan kawasan pantai seperti
hilangnya mangrove, degradasi daya dukung lingkungan dan kerusakan biota
pantai/laut. Termasuk diantaranya isu administrasi, hukum seperti otonomi
daerah, peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), konflik-konflik daerah dan
sektoral merupakan persoalan yang harus dipecahkan bersama melalui manajemen
kawasan pantai terpadu.
Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu daerah kepulauan di
Indonesia yang memiliki potensi pesisir dan kelautan yang sangat besar. Garis pantainya
yang bersentuhan dengan laut Banda menimbulkan banyak potensi pesisir dan
kelautan yang bisa dimanfaatkan. Keberadaan terumbu karang, hutan mangrove,
serta keanekaragaman flora dan fauna laut merupakan potensi yang memiliki nilai
ekonomi yang menjanjikan, baik di bidang produksi maupun di bidang pariwisata.
Saat ini ekosistem pantai terancam kelestariannya terutama oleh kegiatan
manusia. Sumber daya pantai merupakan anugerah alam yang sangat berharga bagi
mahluk hidup yang perlu dikelola dan dikembangkan secara baik untuk kepentingan
saat ini dan dimasa yang akan datang. Untuk tetap menjaga potensi sumber daya
pesisir Wakatobi, maka diperlukan suatu pengelolaan yang dilakukan secara
terpadu dan berkesinambungan agar sumber daya yang ada tersebut tetap terjaga.
2. PERUMUSAN
MASALAH
Dalam Kajian Pengelolaan Daratan Pesisir Berbasis Zonasi di
Kabupaten Wakatobi akan dijelaskan bagaimana penanganan dari permasalahan –
permasalahan yang ada sehingga memerlukan rencana strategis yang memuat visi, tujuan,
sasaran dan strategi pengelolaan terpadu dan diakui bersama oleh pihak – pihak
yang berkepentingan (stakeholders).
Adapun permasalahan yang dimaksud, yakni :
A. Belum adanya
zonasi wilayah pesisir secara spesifik mengenai fungsi dan peran wilayah
daratan pesisir?
B. Degradasi
habitat wilayah pesisir yang ditandai dengan beberapa kerusakan ekosistem?
C. Tingkat
kerusakan hutan, taman nasional, dan cagar alam laut oleh masyarakat?
D. Potensi dan
objek wisata bahari belum dikembangkan secara optimal?
3. TUJUAN DAN
MANFAAT PENELITIAN
A. TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan zona-zona
wilayah pesisir berdasarkan fungsi dan peran serta kesesuaian lahan dalam
menunjang keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir dengan tetap memperhatikan
aspek pelibatan masyarakat sehingga tercipta upaya pengelolaan pesisir yang
terpadu dan berkelanjutan, mengatasi konflik pemanfaatan sumberdaya, untuk
memandu pemanfaatan jangka panjang, pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir
di dalam wilayah perencanaan.
B. MANFAAT
PENELITIAN
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
:
1. Arahan dalam
memanfaatkan zona atau ruang di wilayah pantai.
2. Arahan dalam
mengeliminasi permasalahan yang ada.
3. Acuan dalam
usulan perbaikan rencana tata ruang wilayah daratan pesisir yang optimal.
4. Ekosistem
wilayah daratan pesisir yang tidak terjaga dapat diperbaiki dan dioptimalkan
sesuai fungsi dan perannya.
4. RUANG
LINGKUP PENELITIAN
Secara administratif Kab. Wakatobi memiliki 8 wilayah
kecamatan, yakni Kecamatan Wangi – Wangi, Wangi – Wangi Selatan, Kaledupa,
Kaledupa Selatan, Tomia, Tomia Timur, Binongko, dan Togo Binongko yang secara
keseluruhan merupakan wilayah pesisir. Namun pada penelitian ini penulis
membatasi lingkup penelitian yaitu di Kecamatan Wangi – Wangi dan Wangi – Wangi
Selatan (Pulau Wanci dan Sekitarnya) yang menjadi lokasi penelitian.
Dari 2 Kecamatan tersebut penelitian ini akan difokuskan
lagi pada beberapa desa dan kelurahan yang berbatasan langsung dengan wilayah
pesisir dan pantai. Di Kecamatan Wangi – Wangi, antara lain Kel. Pongo, Kel.
Wanci, Kel. Wandoka, Desa Sombu, Desa Waha, Kel. Waetuno, Desa Longa. Di
Kecamatan Wangi – Wangi Selatan, antara lain Kel. Mandati I, Kel. Mandati II,
Kel. Mandati III, Desa Mola Utara, Desa Mola Selatan, Desa Nelayan Bakti, Desa
Samaturu, Desa Numana, Desa Liya Mawi, Desa Liya Togo, Desa Kolo, Desa Kapota,
Desa Kabita, Desa Melai One, dan Desa Matahora.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Definisi Wilayah
Pesisir dan Pantai
Sampai saat ini memang belum ditemukan definisi yang pasti
mengenai wilayah pesisir karena batas-batas yang ada bisa berubah
sewaktu-waktu, namun ada beberapa definisi berdasarkan keterangan dari ahli
terkait sebagai berikut.
Wilayah pesisir merupakan wilayah daratan yang berbatasan
dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun
yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut,
seperti pasang surut, dan intrusi air laut. Sedangkan batas di laut adalah
daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan, seperti
sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta yang dipengaruhi oleh
kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Supriharyono, 2000 ).
Sedangkan menurut kesepakatan bersama dunia internasional,
pantai diartikan sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan,
apabila ditinjau dari garis pantai maka suatu wilayah pesisir memiliki dua
macam batas, yaitu batas sejajar garis pantai (longshore), dan batas tegak
lurus pantai (crossshore), (Supriharyono, 2000 ). Pesisir terbentuk akibat
hempasan dari gelombang laut/ombak. Pesisir memiliki bentuk yang tidak sama,
hal ini disebabkan karena pesisir terbentuk akibat hempasan dari gelombang laut
serta ditambah dengan adanya terpaan dari badai (Matthews, 2005).
Berdasarkan UU No 27 Tahun 2007 Wilayah Pesisir adalah
daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut. Bentuk yang dapat diciptakan oleh pesisir ada
beberapa macam yaitu bentuk gua dan lengkungan. Bentuk gua dan lengkungan
tersebut terbentuk dari tebing yang tergerus, namun suatu saat lengkungan
tersebut akan patah sehingga yang tertinggal hanya tiang batuannya saja dan
disebut tunggul (Riley, 2004). Pantai merupakan salah satu kawasan hunian atau
tempat tinggal paling penting di dunia bagi manusia dengan segala macam
aktifitasnya. Awal tahun 1990 diperkirakan 50 % sampai 70 % penduduk di dunia
tinggal di daerah pantai. Bila pada saat itu penduduk di dunia berjumlah kurang
lebih 5,3 milyar maka 2,65 sampai 3,7 milyar tinggal di pantai (Edgren, 1993).
B. Definisi Daerah
Pantai (Wilayah Pesisir) Untuk Keperluan Pengelolaan
Daerah pantai atau pesisir adalah suatu daratan beserta
perairannya dimana pada daerah tersebut masih dipengaruhi baik oleh aktivitas
darat maupun oleh aktivitas marin. Dengan demikian daerah pantai terdiri dari
perairan pantai dan daratan pantai yang saling mempengaruhi. Di beberapa
seminar daerah pantai sering disebut pula daerah pesisir atau wilayah pesisir.
Pantai adalah daerah di tepi perairan sebatas antara surut
terendah dan pasang tertinggi. Daratan pantai adalah daerah di tepi laut yang
masih terpengaruh oleh aktivitas marin. Perairan pantai adalah perairan yang
masih dipengaruhi aktivitas daratan. Sempadan pantai adalah daerah sepanjang
pantai yang diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian pantai.
C. Tata Ruang
Wilayah
1. Gambaran Tata
Ruang
Menurut istilah geografi umum, yang dimaksud ruang adalah
seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata, 1992). Sedangkan menurut
Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa ruang
adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk
lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Dalam UU No.26 Tahun 2007, tata ruang adalah wujud struktur
ruang dan pola ruang, dimana struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional, sedangkan pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Wilayah menurut Subroto (2003) adalah
suatu tempat kedudukan berupa hamparan yang dibatasi oleh dimensi luas dan isi.
Dimensi luas wilayah ditentukan oleh kesamaan komponen sumber daya alam dan
sumber daya buatan yang terdapat secara horisontal di permukaan, sedangkan
dimensi isi ditentukan oleh kesamaan sumber daya alam dan sumber daya buatan
baik teknis, sosial, budaya, ekonomis, politis maupun administratif yang
terlingkup pada posisi horisontal maupun vertikal di suatu wilayah tertentu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tata ruang
wilayah merupakan wujud susunan dari suatu tempat kedudukan yang berdimensi
luas dan isi dengan memperhatikan struktur dan pola dari tempat tersebut
berdasarkan sumber daya alam dan buatan yang tersedia serta aspek administratif
dan aspek fungsional untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan demi
kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan, maka diperlukan upaya penataan ruang. Penataan
ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu mendapat
akses dalam proses perencanaan tersebut. Penataan ruang adalah suatu sistem
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Kegiatan penataan ruang dimaksudkan untuk mengatur ruang dan membuat
suatu tempat menjadi bernilai dan mempunyai ciri khas dengan memperhatikan
kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap
bencana, potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan;
kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan,
lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan,
geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi (UU No. 26 Tahun 2007).
2. Tata Guna
Lahan
Lahan adalah suatu hamparan (areal) tertentu dipermukaan
bumi secara vertikal mencakup komponen iklim seperti udara, tanah, air, dan
batuan yang ada di bawah tanah serta vegetasi dan aktivitas manusia pada masa
lalu atau saat ini yang ada di atas tanah atau permukaan bumi (Subroto, 2003).
Lahan merupakan sumber daya alam yang jumlahnya terbatas.
Hampir semua kegiatan produksi, rekreasi, dan konservasi memerlukan lahan.
Pemanfaatan lahan untuk berbagai kepentingan dari berbagai sektor seharusnya
selalu mengacu pada potensi fisik lahan, faktor sosial ekonomi, dan kondisi
sosial budaya setempat serta sistem legalitas tentang lahan (Subroto, 2003).
3. Tata Guna
Wilayah Pesisir
Lahan di kawasan pantai dapat digunakan untuk berbagai
peruntukan, seperti : pemukiman, pelabuhan, dermaga, industri.
Sumber :Triatmodjo,1999
Gambar 2.1
Tata Guna Wilayah Pesisir (Triatmodjo, 1999)
Keterangan :
• Pesisir : daerah darat di tepi laut yang masih mendapat
pengaruh laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut.
• Pantai : daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air
pasang tertinggi dan air surut terendah.
• Daerah daratan : daerah yang terletak di atas dan di bawah
permukaan daratan di mulai dari batas garis pasang tertinggi.
• Daerah lautan : daerah yang terletak di atas dan di bawah
permukaan lautan di mulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk
dasar laut dan bagian bumi di bawahnya.
• Garis pantai : garis batas pertemuan antara daratan dan
air laut.
• Sempadan pantai : kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai.
D. Konsep Pengelolaan
Terpadu Wilayah Pesisir
Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep
pengelolaan sumberdaya pada umumnya, pada pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir yang mengelola adalah semua orang dengan objek segala sesuatu yang ada
di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda dengan pengelolaan
wilayah pesisir adalah ; pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai,
pendidikan dan kesehatan dimana contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah
pesisir sebagai target. Yang paling utama dari konsep pengelolaan wilayah
pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri,
dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari
pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial.
Selanjutnya konsep pengelolaan wilayah pesisir didalam
filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan dan konservasi.
Pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip-prinsip lingkungan juga
memasukan konsep keseimbangan ketergantungan waktu dan keadilan sosial.
Pengelolaan terpadu Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu
pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama
antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya.
Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan
batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta
proses proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem
pesisir (Supriharyono, 2000 ).
Sumber : kay, 1999
:62
Gambar 2.2
Konsep Dasar Keseimbangan di Dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir
E. Tahap
Pengelolaan Pantai/Pesisir
1. Tahap
Perencanaan Wilayah Pesisir
a. Rencana
Strategis Wilayah Pesisir
Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
(RSWP-3-K) Provinsi dan Kabupaten/Kota disusun berdasarkan isu Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang aktual, seperti halnya degradasi
sumber daya, masyarakat tertinggal, konflik pemanfaatan dan kewenangan, bencana
alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan jaminan kepastian hukum guna
mencapai tujuan yang ditetapkan.
b. Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir
Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
(RZWP-3-K) Provinsi mencakup wilayah perencanaan daratan dari kecamatan pesisir
sampai wilayah perairan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan dalam satu
hamparan ruang yang saling terkait antara ekosistem daratan dan perairan
lautnya. Skala peta Rencana Zonasi disesuaikan dengan tingkat ketelitian peta
rencana tata ruang wilayah provinsi, sesuai dengan Pasal 14 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
c. Rencana
Pengelolaan Wilayah Pesisir
Rencana Pengelolaan wilayah pesisir berisi tentang (UU No 26
Tahun 2007) :
- Kebijakan
tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang
dilarang.
- Penggunaan
sumber daya yang diizinkan merupakan penggunaan sumber daya yang tidak merusak
ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.
- Penggunaan
sumber daya yang dilarang adalah penggunaan sumber daya yang berpotensi merusak
ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.
- Skala prioritas
pemanfaatan wilayah Pesisir.
-
Karakteristik wilayah pesisir merupakan daerah yang memiliki
produktivitas hayati dan intensitas pembangunan yang tinggi serta memiliki
perubahan sifat ekologi yang dinamis.
2. Tahap
Pemanfaatan Pengelolaan
Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) meliputi pengusahaan atas permukaan laut
dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut.
HP-3 dapat diberikan kepada :
- Orang
perseorangan warga negara Indonesia.
- Badan hukum
yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, atau
- Masyarakat
Adat.
HP-3 tidak dapat diberikan pada (UU No 27 Tahun 2007) :
- Suaka
perikanan merupakan kawasan perairan tertentu baik air payau maupun air laut dengan
kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung atau berkembang biak jenis
sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.
- Alur pelayaran
merupakan bagian dari perairan baik alami maupun buatan yang dari segi kedalaman,
lebar dan hambatan pelayaran lainnya dianggap aman untuk dilayari.
- Kawasan
pelabuhan meliputi daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan
pelabuhan.
- Pantai umum
merupakan bagian dari kawasan pemanfaatan umum yang telah dipergunakan
masyarakat antara lain untuk kepentingan kegiatan sosial, budaya, rekreasi
pariwisata, olah raga dan ekonomi.
3. Tahap
Pengawasan Pengelolaan
Pengawas kepolisian khusus dengan melakukan kegiatan patroli
dan tugas polisional lainnya, di luar tugas penyidikan. Pengawas pegawai negeri
sipil di instansi yang membidangi pengelolaan wilayah pesisir mengadakan
patroli/perondaan dan menerima laporan yang menyangkut perusakan Ekositem
Pesisir, Kawasan Konservasi, Kawasan Pemanfaatan Umum dan Kawasan Strategis
Nasional Tertentu.
4. Tahap
Pengendalian Pengelolaan
Pemerintah wajib menyelenggarakan akreditasi terhadap
program pengelolaan wilayah pesisir yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah
Daerah. Standar dan Pedoman Akreditasi mencakup :
a. Relevansi isu prioritas.
b. Proses konsultasi publik.
c. Dampak positif terhadap pelestarian lingkungan.
d. Dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
e. Kemampuan implementasi yang memadai.
f. Dukungan kebijakan dan program pemerintah dan pemerintah
daerah.
F. Konsep Dasar
Pengelolaan Pantai
1. Keterpaduan
Perencanaan Sektor Secara Horisontal
Perencanaan harus memadukan berbagai sektor kepentingan.
Prinsip pengembangan diutamakan untuk pemanfaatan pesisir (daerah pantai) yang
lestari dengan memprioritaskan potensi unggulan daerah pantai, sedangkan
sektor-sektor lain diusahakan untuk mendukung potensi unggulan.
2. Keterpaduan
Perencanaan Secara Vertikal
Keterpaduan arah vertikal diartikan bahwa pengelolaan daerah
pantai baik dari tingkat desa sampai dengan kecamatan, kabupaten/kota, provinsi
hingga nasional biasanya berupa bingkai, rambu-rambu atau pedoman-pedoman yang
harus dipakai sebagai dasar pengembangan tingkat bawahnya. Dari uraian tersebut
tergambar bahwa pengelolaan daerah pantai di tingkat bawah tidak boleh
bertentangan dengan tingkat atasnya, dan justru harus merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan.
3. Keterpaduan
Antara Ekosistem Darat dan Laut
Daerah pantai (pesisir) merupakan daerah peralihan antar
ekosistem darat dan laut. Oleh karena itu pengembangan yang terdapat di daerah
pantai diusahakan tidak akan merusak ekosistem laut atau darat. Demikian pula
pembangunan di darat atau di laut diharapkan tidak merusak kawasan pesisir.
4. Keterpaduan
Antara Ilmu Pengetahuan dan Manajemen
Pengembangan wilayah pesisir harus didasarkan pada input
data dan informasi ilmiah yang memberikan berbagai alternatif rekomendasi bagi
pengambil keputusan yang relevan, sesuai karakter daerah. Oleh karena itu dalam
suatu wilayah pantai harus tersedia data yang akurat mengenai berbagai hal
(hidro-oseanogafi, potensi daerah pantai, permasalahan daerah pantai, sarana
prasarana, ekosistem pantai, lingkungan hidup dan sebagainya), sehingga dalam
mengambil suatu keputusan yang terkait dengan pengelolaan daerah pantai dapat
tepat dan tidak menimbulkan permasalahan yang pelik.
5. Keterpaduan
Antara Kepentingan Ekonomi, Lingkungan, dan Masyarakat
Tujuan akhir pengembangan kawasan pesisir adalah untuk
mendapatkan manfaat bagi masyarakat dan negara. Oleh karena itu dalam mengambil
keputusan pengembangan kawasan pesisir harus dikaji dengan mendalam mengenai
kelayakan pengembangan kawasan tersebut baik dari sudut ekonomi, kerusakan
lingkungan maupun manfaat buat masyarakat setempat.
G. Peraturan
Perundangan Zonasi Wilayah Pesisir
1. Zonasi
berdasarkan Undang – Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Berdasarkan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang zonasi untuk wilayah pesisir dipilah menjadi tiga zona yaitu zona
preservasi, zona konservasi, dan zona pemanfaatan. Pembagian zona ini
didasarkan pada fungsi dan peran kawasan dimana untuk kawasan yang difungsikan
untuk perlindungan dan sempadan pantai dimasukkan dalam kategori kawasan dengan
pola lindung, dalam hal ini zona 1 dan 2 termasuk dalam pola kawasan lindung
sedangkan zona yang nanti akan akan dimanfaatkan untuk kegiatan penunjang
seperti aktivitas yang ada pada kawasan pesisir disebut kawasan dengan pola
budidaya dalam hal ini zona 3 termasuk dalam pola kawasan budidaya. Sesuai
dengan kebijakan ini maka melalui identifikasi karakteristik dari pesisir Pulau
Wangi - Wangi maka zonasi pesisir Pulau Wangi – Wangi akan dibagi menjadi tiga bagian sesuai dengan
karakteristiknya yang masing-masing memiliki fungsi dan peran dalam penunjang
pengelolaan pesisir yang berkelanjutan.
2. Zonasi
berdasarkan Undang – Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Zonasi pada kebijakan ini di bentuk berdasarkan kriteria
lahan kritis pantai berdasarkan tingkat erosi, produktivitas lahan, penutupan
lahan, hidrologi dan penggunaan lahan oleh masyarakat.
Dari kriteria tersebut maka dibentuklah tiga elemen pembagi
zona yaitu :
a. Daerah sebaran peka (sensitif) pada sirkulasi hidrologi
atau rawan daya rusak air yaitu daerah
yang secara hidrologi peka seperti daerah hulu aliran pada lereng yang curah
dan tepian sungai atau tepian pantai.
b. Sebaran dari keringkihan ekoistem yaitu daerah yang
tertutup dengan vegetasi alami dianggap mempunyai keanekaragaman hayati yang
relatif tinggi dan daerah ini agak ringkih dan peka terhadap gangguan manusia.
c. Sebaran daerah yang berpotensi untuk kerusakan tanah
kritis.
Dari kriteria tersebut dapat diperoleh zonasi pengelolaan
pada pesisir yang akan di padu pula dengan ketentuan zonasi dari kebijakan dan
pandangan disiplin ilmu tekait dengan pengelolaan pesisir/pantai.
3. Zonasi
berdasarkan Undang – Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil.
Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
(RZWP-3-K) Kabupaten/Kota mencakup wilayah perencanaan daratan dari kecamatan
pesisir sampai 1/3 (sepertiga) wilayah perairan kewenangan provinsi.
Pemerincian perencanaan pada tiap-tiap zona dan tingkat ketelitian skala peta
perencanaan disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Alokasi ruang dalam Rencana Kawasan
Pemanfaatan Umum, rencana Kawasan Konservasi, rencana Kawasan Strategis
Nasional Tertentu, dan rencana alur.
4. Pola
Perencanaan Zonasi di Wilayah Pesisir (Kepmen No. 34 Tahun 2002)
Salah satu alternatif dalam perencanaan wilayah pesisir dan
pulau kecil adalah
membagi kawasan tersebut atas beberapa zona penting yaitu;
- Zona
Preservasi/zona inti
Zona inti merupakan area yang memiliki nilai konservasi
tinggi yang sangat rentan terhadap gangguan dari luar sehingga diupayakan
intervensi manusia didalamnya seminimal mungkin. Dalam pengelolaannya zona ini
harus mendapat perlindungan yang maksimal.
- Zona
Konservasi
Merupakan zona perlindungan yang didalamnya terdapat satu
atau lebih zona inti. Zona konservasi dapat dimanfaatkan secara sangat
terbatas, yang didasarkan pada pengaturan yang ketat.
- Zona Penyangga
Merupakan zona transisi antara zona konservasi dengan zona
pemanfaatan. Pada zona ini dapat diberlakukan pengaturan disinsentif bagi
pemanfaatan ruang.
- Zona
Pemanfaatan (Budidaya)
Pemanfaatan zona ini secara intensif dapat dilakukan, namun
pertimbangan daya dukung lingkungan tetap menjadi syarat utama. Pada zona ini
terdapat juga area-area yang merupakan zona perlindungan setempat.
- Zona Tertentu
Merupakan kawasan terutama bagi kegiatan pertahanan atau
militer.
Keseluruhan konsep pemanfaatan ruang ini tentunya tidak kaku
membagi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kedalam zona-zona tersebut, tapi
ditentukan oleh karakterisik tiap wilayah pesisir dan tujuan perencanaan serta
kesepakatan pemangku kepentingan di wilayah pesisir tersebut.
Proses penyusunan tata ruang pesisir dan konfigurasi zonasi
dapat dilakukan dengan teknik overlay (tumpang susun) peta-peta tematik yang
memuat karakteristik biofisik wilayah pesisir dari setiap kegiatan pembangunan
yang direncanakan dan peta penggunaan ruang pesisir saat ini (Tahir dkk.,
2002).
Perencanaan tata ruang dimulai dari kegiatan evaluasi ruang
yang mengidentifikasikan karakteristik dan menilainya untuk keperluan tipe
wilayah tertentu secara spasial, perencanaan pemusatan kegiatan tertentu juga
pengelompokkan wilayah tertentu untuk tujuan yang ditetapkan (Branch, 1998).
H. Sistem Informasi
Geografis
Sistem Informasi Geografis (Geographic Information
System/GIS) yang selanjutnya akan disebut Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan
system informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengelola (input,
manajemen, proses dan output) data spasial atau data yang bereferensi
geografis, setiap data yang merujuk lokasi di permukaan bumi dapat disebut data
spasial bereferensi geografis seperti data jaringan jalan suatu kota, data
distribusi pengambilan sampel (ESRI, 1999).
Data SIG dapat dibagi menjadi dua macam yaitu data grafis
dan data atribut/tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan bentuk
atau kenampakan obyek di permukaan bumi sedangkan data atribut adalah data
deskriptif yang menyatakan nilai dari data grafis tersebut (Nuarsa, 2005).
Karakteristis SIG merupakan suatu sistem hasil pengembangan
perangkat keras dan perangkat lunak untuk tujuan pemetaan, sehingga fakta wilayah
dapat disajikan dalam satu sistem berbasis komputer yang melibatkan ahli
geografi, informatika dan komputer, serta aplikasi terkait. Masalah dalam
pengembangan meliputi : cakupan, kualitas dan standart data, struktur, model
dan visualisasi data, koordinasi kelembagaan dan etika, pendidikan, expert
system dan decision support system serta penerapannya. Perbedaanya dengan
system infomasi lainnya : data dikaitkan dengan letak geografis, dan terdiri
dari data tekstual maupun grafik (Prahasta, 2003).
Menurut Dulbahri (2001) data SIG dan pengolahannya
berdasarkan sumber masukan data dapat dibedakan atas :
- Data indera
hasil klasifikasi dan interpretasi (bentuk digital dan berbasis raster, cakupan
luas, waktu pengumpulan relative singkat, bisa multiband, multisensor,
multiresolusi dan multitemporal).
- Peta (bentuk
non-digital dan berbasis vector).
- Data survey
dan statistik dengan tahapan pengolahan pemasukan dan pembetulan data,
penyimpanan pengorganisasian data, pemrosesan dan penyajian data, transformasi
data dan interaksi dengan pengguna (input query).
I. Aplikasi GPS
(Global Positioning System)
GPS merupakan singkatan dari Global Positioning System
(Sistim Pencari Posisi Global), adalah suatu jaringan satelit yang secara terus
menerus memancarkan sinyal radio dengan frekuensi yang sangat rendah. Alat
penerima GPS secara pasif menerima sinyal ini, dengan syarat bahwa pandangan ke
langit tidak boleh terhalang, sehingga biasanya alat ini hanya bekerja di ruang
terbuka. Satelit GPS bekerja pada referensi waktu yang sangat teliti dan
memancarkan data yang menunjukkan lokasi dan waktu pada saat itu. Yang biasa
kita sebut sebagai GPS merupakan alat penerima, karena alat ini dapat
memberikan nilai koordinat dimana ia digunakan maka keberadaan teknologi GPS
memberikan terobosan penting dalam penyedia data bagi SIG, data ini biasanya
dipresentasikan dalam format vektor (Kuntjoro dkk., 2001).
J. Analisa SWOT
Dalam merumuskan strategi diperlukan analisis kekuatan,
kelemahan, peluang
dan ancaman (SWOT) untuk pengelolaan daratan pesisir agar
perumusan strategi yang akan diambil lebih tajam (efektif). Analisis SWOT
diperoleh dari identifikasi kondisi, potensi dan permasalahan wilayah pesisir
dengan aspek-aspek terkait.
Dalam analisis SWOT, beberapa pertanyaan kunci adalah
sebagai berikut :
1. Kekuatan
(Strength) yang merupakan aspek internal positif yang dapat dikontrol dan dapat
diperkuat dalam perencanaan :
a. Apa yang merupakan
keunggulannya/ keuntungannya?
b. Apa yang
dikerjakannya dengan baik?
c. Apa yang orang
lain lihat sebagai kekuatannya?
2. Kelemahan
(Weakness) yang merupakan aspek internal negatif yang dapat dikontrol dan dapat
diperbaiki dalam perencanaan :
a. Apa yang perlu
diperbaiki?
b. Apa yang
dikerjakan dengan buruk?
c. Apa yang perlu
dihindarkan?
3. Peluang
(Opportunity) yang merupakan kondisi eksternal positif yang tidak dapat
dikontrol dan dapat diambil keuntungannya :
a. Kesempatan baik
apa yang sedang dihadapi?
b. Apa yang menjadi
tren menarik/ penting saat ini?
Peluang berguna dapat datang dari :
a. Perubahan pada
teknologi dan permintaan (demand)
b. Perubahan dalam
kebijakan pemerintah
4. Ancaman (Threat)
yang merupakan kondisi eksternal negatif yang tidak dapat dikontrol dan mungkin
dapat diperkecil dampaknya :
a. Hambatan apa yang
sedang dihadapi?
b. Hal apa yang
menjadikan persaingan?
c. Apakah perubahan
teknologi mengancam posisinya?
d. Apakah ancaman
bencana alam yang dominan?
Dalam menentukan strategi pengelolaan wilayah pesisir didasarkan
atas kondisi faktual potensi dan permasalahan seperti dijelaskan pada bagian
sebelumnya, teknik yang digunakan adalah mencari strategi silang dari keempat
faktor SWOT di atas, yaitu :
1. Strategi S-O :
strategi yang disusun untuk memanfaatkan seluruh kekuatan dan mengoptimalkan
peluang yang ada.
2. Strategi S-T:
strategi yang disusun untuk memanfaatkan seluruh kekuatan dalam menanggulangi
ancaman yang ada.
3. Strategi W-O:
strategi memanfaatkan peluang secara optimal untuk mengatasi kelemahan yang
dimiliki.
4. Strategi W-T:
strategi untuk mengatasi kelemahan dan mengeliminasi ancaman yang timbul.
K. Perlindungan dan
Pelestarian Daerah Pantai
Perlindungan dan pelestarian daerah pantai bertujuan untuk
melindungi dan melestarikan sumber daya pantai termasuk ekosistem/lingkungan
keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh alam maupun
tindakan manusia.
Perlindungan dan pelestarian daerah pantai dilakukan melalui
(Kodoatie dkk., 2007):
1. Pemeliharaan
kelangsungan ekosistem pantai, antara lain : mangrove, terumbu karang, padang
lamun dan lain-lain.
2. Pengendalian
pemanfaatan daerah pantai, dapat berupa : pemanfaatan sebagian atau seluruh
sumber daya pantai tertentu melalui perizinan dan pelarangan untuk memanfaatkan
sebagian atau seluruh sumber daya pantai tertentu.
3. Pengaturan
prasarana dan sarana sanitasi meliputi prasarana dan sarana air limbah dan
persampahan.
4. Pengaturan
daerah sempadan pantai.
5. Rehabilitasi
hutan dan lahan.
6. Pelestarian
hutan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
Upaya perlindungan dan pelestarian daerah pantai ini
dijadikan dasar dalam penatagunaan wilayah pantai. Perlindungan dan pelestarian
daerah pantai dapat dilaksanakan secara vegetatif dan/atau sipil teknis melalui
pendekatan sosial, ekonomi dan budaya. Pelaksanaan secara vegetatif merupakan
upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan melalui penanaman pepohonan
atau tanaman pelindung yang sesuai pada daerah sempadan pantai. Sedangkan
secara sipil teknis adalah dengan pembangunan tembok laut, perlindungan tebing
(revetment), krib tegak lurus pantai, krib sejajar pantai dan Bulk head.
Selain itu upaya perlindungan dan pelestarian daerah pantai
harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi sosial, budaya dan ekonomi
masyarakat setempat (Kodoatie dkk., 2007).
L. Kompleksitas
Permasalahan Pantai
Saat ini manusia mulai menyadari keterbatasan daerah pantai
sebagai tempat untuk
hidup, bekerja, bermain dan sebagai salah satu sumber dari
sumber daya yang berharga. Hal ini telah timbul sehubungan dengan adanya
desakan yang berlebihan, pembangunan yang berlebihan di beberapa daerah dan
kerusakan dari sumber daya yang berharga oleh pemakaian yang salah (Ketchum,
1972).
Inisiatif pengelolaan pantai biasanya merupakan respon dari
kebutuhan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan seperti konflik pemakaian
kawasan pantai, urbanisasi, akses, polusi, degradasi lingkungan dan
bencana-bencana alam. Permasalahan dapat juga berkaitan dengan hubungan yang
buruk atau koordinasi yang tidak efisien antara pihak – pihak yang bertanggung
jawab dalam membuat keputusan tentang pemanfaatan kawasan pantai atau persepsi
yang sama antara pembuat keputusan bahwa tidak ada masalah.
Isu-isu persoalan pengelolaan pantai meliputi: pertumbuhan
populasi, pemanfaatan
kawasan pantai, dampak pemanfaatan pantai oleh manusia, isu
administrasi dan isu konflik (Kay dan Alder, 1999).
M. Permasalahan
Pengelolaan Pantai
1. Isu Utama
Daerah Pantai
Ada beberapa isu utama daerah pantai yang mencuat
akhir-akhir ini diantaranya adalah :
a. Sumber daya
pantai merupakan anugerah alam (Tuhan) yang sangat berharga bagi mahluk hidup
yang perlu dikelola dan dikembangkan secara baik untuk untuk kepentingan saat
ini dan dimasa yang akan datang.
b. Pengelolaan daerah pantai (kawasan pesisir)
harus dilakukan secara terpadu (integrated) dan berkesinambungan (sustainable).
c. Saat ini
ekosistem pantai (daratan, perairan dan segala sesuatu yang berada didalamnya)
terancam kelestariannya terutama oleh kegiatan manusia.
d. Perikanan,
pertanian dan pariwisata adalah aktivitas ekonomi yang paling utama di daerah
pantai. Setelah itu baru kegiatan permukiman dan perkantoran, perdagangan,
industri (tambang, pabrik), cagar alam dan pembangkit energi.
e. Dari sudut
pandang ekonomi : Sumber daya pantai adalah merupakan modal (capital) bagi umat
manusia. Sedangkan berbagai produk/barang ataupun jasa (kegiatan) yang
dihasilkan oleh karena keberadaan sumber daya tersebut merupakan keuntungan
dari adanya modal tersebut. Perusakan pantai berarti pengurangan terhadap modal
dan berarti pula penurunan keuntungan (Post and Lundinm, 1996).
f. Kerusakan
pantai atau penurunan sumber daya pantai sebagian besar disebabkan oleh
kegiatan manusia, diantaranya adalah penambangan pasir dan terumbu karang,
penebangan hutan bakau, pembangunan konstruksi yang tidak akrab lingkungan,
penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing), pembangunan rumah yang terlalu
dekat dengan pantai, pengembangan daerah pantai tidak sesuai dengan potensi
unggulan daerah pantai.
g. Daerah pantai
disamping mempunyai potensi yang cukup besar juga mempunyai permasalahan yang
cukup banyak. Permasalahan tersebut diantaranya adalah permasalahan fisik,
permasalahan hukum, permasalahan sumberdaya manusia dan permasalahan institusi
(Yuwono, 1999). Masing-masing permasalahan tersebut diuraikan secara singkat
pada sub bab berikut ini.
2. Permasalahan
Fisik
Permasalahan fisik pantai diantaranya adalah erosi pantai,
hilangnya pelindung alami pantai (penebangan pohon pelindung pantai,
penambangan pasir dan terumbu karang), ancaman gelombang badai/tsunami,
sedimentasi pantai, pencemaran pantai, intrusi air laut, ancaman tergenangnya
dataran rendah pantai akibat kenaikan muka air laut (sea level rise) yang disebabkan
oleh efek rumah kaca, perkembangan permukiman pantai yang tidak terencana
(permukiman kumuh), pemanfaatan daerah pantai yang tidak sesuai dengan potensi
pantai dan air baku yang terbatas (terutama untuk daerah kepulauan).
Permasalahan ini adalah permasalahan paling menonjol bagi Departemen Pekerjaan
Umum, karena departemen inilah yang bertanggung jawab penuh dalam perlindungan
dan pengamanan daerah pantai.
3. Permasalahan
Hukum
Permasalahan hukum timbul karena belum adanya perangkat
hukum yang memadai dalam rangka pengelolaan daerah pantai. Misalnya perangkat
hukum yang berkaitan dengan batas sempadan pantai, pemanfaatan sempadan pantai,
reklamasi pantai, penambangan pasir dan karang dan pemotongan tanaman pelindung
pantai. Disamping itu pemahaman hukum oleh masyarakat yang masih kurang,
misalnya membuang limbah ke pantai tanpa diproses dan membangun tempat usaha
tanpa memiliki ijin yang benar.
4. Permasalahan
Sumber Daya Manusia
Masyarakat daerah pantai banyak yang belum memahami mengenai
pengelolaan daerah pantai dan tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukan
mungkin dapat merusak kelestarian ekosistem pantai. Sebagai contoh pembangunan
rumah yang berada di sempadan pantai, penambangan pasir dan terumbu karang dan
pembuatan tambak dengan membabat habis pohon pelindung pantai (mangrove).
5. Permasalahan
Institusi
Sampai saat ini belum tersedia institusi yang mampu
mengkoordinir kegiatan yang berada di daerah pantai dengan baik. Berbagai
instansi seperti Pekerjaan Umum, Pariwisata, Perikanan, Permukiman, Pertanian,
Kehutanan, Pertambangan dan Perhubungan semua melakukan kegiatan di daerah
pantai namun masih bergerak secara sektoral. Dengan demikian pengelolaan daerah
pantai belum dapat dilakukan secara optimal.
N.
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam studi ini beberapa konsep dan pemikiran pelaksanaan
studi di paparkan dalam sebuah konsep terstruktur berupa kerangka pikir dari
penelitian ini.
Berikut kerangka pikir penelitian akan dijelaskan dalam
Gambar 1-4 :
Gambar 3.1. Skema Kerangka Pikir Penelitian
Identifikasi Isu
Permasalahan
Konflik Penggunaan Kawasan
Eksploitasi SDA Secara Tak Terkendali
Pertumbuhan Populasi
Analisis Spasial
Zonasi Berdasar UU No. 27 th 2007
Zonasi Berdasar UU No. 26 th 2007
Zonasi Berdasar UU
No. 7 th 2004
Kesesuaian
Guna Lahan
Strategi Pengembangan Potensi
Arahan Pengelolaan Wilayah Pesisisr
Kesimpulan dan Rekomendasi
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
1. METODE
PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode survey.
Teknik penelitian merupakan salah satu unsur yang sangat
penting dalam bagian penelitian. Adapun teknik penelitian yang peneliti lakukan
adalah penelitian yang bersifat deskriptif.
Data yang dikumpulkan berupa data tulisan (verbal), gambar,
dan bukan sebuah data angka. Hal ini disebabkan karena adanya penerapan metode
kuantitatif dalam penelitian ini yang isinya berupa data verbal.
Penelitian ini akan berisi kutipan – kutipan data untuk
memberi gambaran penyajian laporan. Data – data tersebut berasal dari cacatan
lapangan, wawancara masyarakat, foto lapangan, artikel atau buku yang menjadi
referensi penelitian. Pertanyaan dengan kata tanya mengapa, alasan apa,
bagaimana terjadinya akan senantiasa dimanfaatkan oleh penulis di lapangan.
Penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat – sifat individu, keadaan, gejala, atau
kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala
atau frekuensi adanya hubungan tertentu antar suatu gejala dengan gejala
lainnya dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1980).
2. OBJEK
PENELITIAN
Objek penelitian meliputi :
A. Wilayah Pesisir
Pulau Wangi – Wangi dan Sekitarnya
B. Sumber Daya
Wilayah Pesisir
C. Pemerintah,
Stakeholders, dan Masyarakat
3. METODE
PENGAMBILAN DATA
Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer
dan sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan observasi lapangan baik
dari pengamatan secara fisik ataupun wawancara terhadap beberapa narasumber
terkait dengan perkembangan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir saat
ini. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dengan melakukan survei
institusional. Institusi yang dituju untuk mendukung penelitian ini adalah
institusi yang membawahi beberapa bidang yang terkait dengan pengelolaan
pantai/pesisir.
Pengambilan Data Primer
Merupakan suatu proses pengambilan data secara langsung di
lapangan dengan melakukan observasi untuk mengetahui fakta atau kondisi aktual
di wilayah studi. Survei data primer tersebut dilakukan dengan :
Observasi, berupa pengamatan yang langsung dilakukan di
wilayah studi. Pengamatan tersebut dilakukan untuk mengetahui fenomena visual
yang ada, meliputi pemanfaatan ruang wilayah pesisir, aktivitas penduduknya
serta penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi.
Teknik pendataan yang diperlukan dalam kegiatan ini adalah :
a. Foto
Model visual berupa foto ini diperlukan untuk memperkuat
fakta yang ada mengenai karakteristik Wilayah Pesisir Pulau Wangi - Wangi.
b. Sketsa
kawasan/peta
Sketsa kawasan diperlukan untuk menggambarkan pola
pemanfaatan ruang dan menunjukkan adanya penyimpangan pemanfaatan ruang.
c. Form pengamatan
obyek
Form tersebut merupakan panduan saat melakukan pengamatan,
sehingga tidak ada obyek yang terlewat. Hal-hal yang penting dapat dicatat
dalam form tersebut sebagai catatan lapangan. Form ini dapat diuraikan dalam
bentuk tabel ataupun deskriptif.
1. Kuesioner,
merupakan instrumen pembantu dalam penelitian ini. Tujuan pokoknya adalah untuk
memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan survai dan memperoleh informasi
dengan realibilitas dan validitas setinggi mungkin. Jenis pertanyaan yang diberikan
adalah kombinasi tertutup dimana jawabannya sudah ditentukan. Kuesioner ini
diberikan kepada Warga Pesisir Pulau Wangi - Wangi dengan tujuan mengetahui
seberapa jauh perubahan penggunaan lahan yang terjadi dan seberapa besar dampak
yang ditimbulkan dengan adanya konflik pemanfaatan ruang yang terjadi. Dalam
penyebaran kuisioner ini pengambilan responden dilakukan secara purposive.
Sistem purposive artinya pengambilan responden dengan dasar pertimbangan
responden merupakan stakeholder yang dianggap mengerti permasalahan terkait
serta aktor yang dinilai berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan baik secara
langsung ataupun tidak. Keunggulan dari sampling ini adalah murah dan mudah
dilakukan (Cooper dan Emory dalam Hertiningtyas, 2004: 35). Adapun kuisioner
yang digunakan dapat dilihat pada lampiran, dengan jumlah sampel sebesar 31
orang dari penduduk wilayah pesisir Pulau Wangi – Wangi.
2. Wawancara,
dilakukan dengan format “semi structured” dimana peneliti sudah menyiapkan
beberapa pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian dikembangkan sehingga
jawaban yang diperoleh bisa meliputi semua variabel. Kegiatan ini terutama
diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh peran kelembagaan dalam menyikapi
penyalahgunaan pemanfaatan ruang yang terjadi serta mengetahui tingkat
kebutuhan akan permodelan pengambilan keputusan dalam penanganan konflik
pemanfaatan ruang yang terjadi. Wawancara dilakukan kepada tokoh-tokoh
masyarakat dan instansi yang terkait dengan perencanaan dan pengelolaan wilayah
pesisir seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda dan Dinas Kehutanan.
Pengambilan Data Sekunder
Untuk data sekunder penulis mencoba mendapatakan melalui
survei institusioanal dan studi pustaka.
a. Survei
Institusional
Terkait dengan survei institusional penulis melakukan
kunjungan untuk memperoleh data ke instansi yang berhubungan dengan data yang
dibutuhkan penulis, adapun instansi yang dituju antara lain Bappeda (Kota dan
Provinsi), Dinas Perikanan dan Kelautan, BPN, BPS, DPU, Kantor Kecamatan dan
Kantor Kelurahan setempat.
b. Studi Literatur
Studi literatur atau studi pustaka yang dilakukan berkaitan
dengan konsep permodelan sistem pendukung keputusan, konsep analisis spasial
sistem informasi geografis, konsep analisis konflik dan konsep pengelolaan
wilayah pesisir. Kajian dapat dilakukan melalui buku-buku terkait, jurnal,
artikel-artikel ataupun penelusuran melalui internet, sehingga peneliti
memperoleh bahasan yang lebih luas.
4. ALAT
ANALISIS DATA
Dalam penelitian ini digunakan beberapa alat analisis sesuai
dengan kebutuhan. Untuk kebutuhan analisis secara spasial digunakanlah software
SIG (GIS) dimana dengan alat analisis ini perubahan guna lahan dan hal-hal lain
yang bersifat spasial dapat dijelaskan dengan baik. Selain itu dengan SIG
interpretasi muka bumi dan kondisi tutupan lahan yang diambil dari citra
satelit dapat dengan jelas di identifikasi dimana citra yang dipakai adalah
citra landsat dengan kedetailan 1 : 50.000, untuk data-data yang sifatnya
statistic digunakanlah alat pengolah berupa SPSS dan Microsoft Excel.
5. PENYAJIAN
DATA
Beberapa konsep penyediaan data dalam penelitian ini tersaji
dalam beberapa bentuk antara lain :
a. Grafik : tampilan ini digunakan untuk menunjukkan
tingkatan atau kondisi sebuah perkembangan yang memiliki nilai sehingga
diketahui perkembangan sebuah kondisi atau proporsi sebuah kondisi yang dapat
ditampilkan dalam diagram yang memiliki nilai.
b. Tabel :
tabel digunakan untuk menunjukkan data-data yang sifatnya tabular
seperti data statistik penduduk, dll.
c. Peta :
digunakan untuk menunjukkan sebuah kondisi secara spasial sehingga jelas
batasan wilayah, batasan kondisi dan batasan zonasi yang diambil. Data-data
yang dapat dipetakan biasanya memuat unsur administrative lokasi dan spasial.
Secara isi, peta yang disajikan dalam penelitian ini bersumber dari standar
peta BAKOSURTANAL dengan kedetailan 1 : 50.000, sedangkan ada beberapa paduan
dengan citra yaitu menggunakan citra Landsat 1 : 50.000 dan untuk mengacu pada
topografi digunakn peta DEM (Detail Elevation Model) dengan skala 1 : 10.000.
BAB V
RENCANA PELAKSANAAN PENELITIAN
1. LOKASI
PENELITIAN
Lokasi penelitian terletak di Pulau Wangi – Wangi terdiri
dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan Wangi – Wangi dan Wangi – Wangi Selatan, dan
difokuskan pada 7 Kelurahan dan 15 Desa, Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara.
2. WAKTU
PENELITIAN
Adapun waktu penelitian yaitu dilakukan selama 3 bulan.
3. ANGGARAN
PENELITIAN
Anggaran yang digunakan bersumber dari dana pribadi
kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996.
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional
Pengelolaan Ekosistem mangrove di
Jakarta, 6-7 Agustus 2002
Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya
Air, Sekretariat Negara, Jakarta.
Republik Indonesia, 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan
Ruang, Sekretariat Negara, Jakarta.
Republik Indonesia, 2007. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sekretariat Negara, Jakarta.